Meira bangun disambut dengan rasa pusing yang mengganggu. Mata memejam, satu tangan memegang kepala. Terdiam sebentar sebelum benar-benar beranjak dari tempat tidur untuk bergerak ke kamar mandi.
Selagi membersihkan wajah dan menggosok gigi, dia mengingat-ngingat apa yang terjadi semalam.
Malam tadi Meira menghadiri birthday party seorang produser yang beberapa kali terlibat project yang sama dengannya.
Dia terlalu banyak minum-minum padahal toleransi alkoholnya sangat rendah. Bukan sengaja minum banyak sebenarnya. Dia ikut game yang mana setiap yang kalah harus menenggak satu seloki. Malam itu Meira sedang apes jadi mau tak mau alkohol yang ditenggaknya melewati batas toleransi.
Meira mabuk. Setelahnya tidak ingat apa yang terjadi. Tapi jika sekarang dia berada di apartemennya sendiri, itu artinya tidak ada sesuatu yang terjadi.
Yang kerepotan menanganinya malam tadi pasti tak lain dan tak bukan adalah manajernya sendiri. Setelah ini Meira harus minta maaf dan berterima kasih kepada manajernya itu, Mbak Dahlia.
Selesai dengan urusan di kamar mandi, Meira bergegas ingin mengisi perut dan mencari sesuatu untuk meredakan pengarnya.
Membiarkan rambutnya tetap berantakan dan tubuhnya hanya dibalut oleh kaus oversize. Meira meringis kecil memikirkan Mbak Dahlia yang menggantikan dress-nya dan menghapus riasan wajahnya.
Melangkah keluar kamar, bergerak menuju pantri, sebuah suara membuat Meira terlonjak kaget. “Udah bangun?”
Kepala menoleh cepat. Menemukan kehadiran seorang pria yang tengah duduk menyilang kaki di sofa ruang tengah. Kacamata bertengger di hidung bangirnya, membingkai matanya yang tengah menaruh perhatian pada iPad di tangannya.
“Kamu kok bisa ada di sini?” tanya Meira. Dari suaranya kekagetannya masih belum sepenuhnya hilang.
Meira spontan menarik-narik ujung bawah kausnya untuk menutup lebih banyak pahanya ketika laki-laki itu, Jean, mengangkat kepala, menatapnya.
Jean memperhatikan itu. Sudut bibirnya tersungging tipis.
Merasa geli kenapa Meira harus bersikap seperti itu di saat dia sudah melihat lebih banyak dari sekadar paha saja.“Kamu mabuk semalam.”
“Itu kamu nanya atau ngasih–”
“Ngasih tahu,” timpal Jean.
“Mbak Dahlia kasih tahu kamu?”
Jean berdecak. Meira sepertinya masih linglung. Dia bangkit berdiri, berjalan mendekat. “Kamu kenapa ikut-ikutan game kayak gitu segala coba? Kamu kan nggak kuat minum."
“Ternyata beneran Mbak Dahlia udah kasih laporan sama kamu?” Meira terdengar keki.
“Mei,” Jean menghela napas, “Mbak Dahlia pulang lebih dulu," sambungnya terdengar lelah.
“Loh? Terus yang ngantar aku–” Meira menjeda kalimatnya, menatap Jean yang sedang balik menatapnya datar,”–kamu?” tanyanya ragu-ragu.
“Supnya makan dulu gih. Linglung banget kelihatannya.”
“Yang nganterin aku semalam beneran kamu?” Meira membeliak, memikirkan yang mengganti pakaiannya semalam berarti Jean? Sesaat wajahnya mendadak panas.
“Kamu mengharapkan diantar siapa emangnya?”
“Bukan gitu maksudku.”
“Kalau seandainya aku nggak ada di sana gimana coba? Udah tahu nggak kuat minum, malah ikut-ikutan game kayak gitu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lust of Love
Short StoryMature Content [21+] Kumpulan short story. Edisi sayang kalau hanya mendekam di draft dan belum sreg untuk dijadikan long story. Sooo enjoy!! © nousephemeral, 2023. all pictures, inside cover © pinterest.