1. Tuan dan Pelayan

1.4K 59 2
                                    

 
Napas yang terengah masih saling memburu. 

Irish terlentang menatap langit-langit kamar merasakan embus napas sang lelaki menerpa tengkuk lehernya. 

Sesaat kemudian, laki-laki itu menyingkir dari atas tubuhnya bersamaan dengan menarik ereksinya, melepaskan penyatuan. 

Tak lama kemudian, Irish bangkit, turun dari ranjang dan mulai memunguti pakaiannya yang berceceran dan kembali memakainya.

Setelah selesai berpakaian, dia berbalik badan, melihat sang pria sudah berbalut selimut dan tidur berbaring memunggunginya.

Mungkin sudah terlelap. Entahlah Irish tidak peduli banyak.

Tanpa mengucapkan apa pun, dia melangkah pergi sampai suara si pria membuatnya sedikit melambatkan langkahnya.

“Ada makanan di meja. Makan dulu. Saya dengar perut kamu keroncongan tadi.”

Pria itu mendengarnya, tapi tetap menggempurnya, alih-alih memberi makan terlebih dahulu.

“Makasih.” Hanya itu yang Irish ucapkan dengan nada bicara yang terkesan tanpa emosi seperti halnya pria yang berbaring di ranjang itu.

Tidak ada hubungan spesial di antara keduanya.

Mereka hanya tuan dan pelayan.

Irish membutuhkan pria itu untuk membantu perekonomiannya. Dan pria itu membutuhkannya untuk pelampiasan nafsunya.

Win-win solution.

Tidak ada yang dirugikan selama mereka tetap berada di batas masing-masing.

Namun, seiring berjalannya waktu batas di antara mereka tampak sedikit terkikis.

Yang sangat Irish hindari. Dan tidak dia harapkan terjadi.

Sayangnya, semakin ke sini tingkah Daren mulai sedikit berubah.

Perubahan yang mengganggu Irish.

“Saya disuruh Pak Daren buat anter pulang Mbak Irish.” 

Irish hanya bergeming, menatap sopir pribadi Daren yang mempersilahkan masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah pria itu buka.

“Nggak papa, Pak. Saya pulang naik angkutan umum aja.” Setelah mengendalikan dirinya, Irish baru menjawab.

“Jam segini angkutan umum sudah tidak beroperasi, Mbak. Terus saya juga disuruh Pak Daren untuk mengantar Mbak Irish bagaimana pun caranya.”

Irish melipatkan bibir ke dalam. Sopir pribadi Daren itu pasti jelas sudah tahu hubungannya dengan bosnya itu.

Dia merasa tidak berhak malu atas identitasnya sebagai pemuas nafsu Daren diketahui oleh sopir sang tuan. Namun, kali ini dia tidak bisa lagi berpura-pura tidak malu.

Tidak di hadapan orang yang selalu memperlakukannya dengan baik dan ramah. Irish menganggap... pendosa sepertinya tidak berhak mendapatkan perlakuan hangat seperti itu.

Dan membayangkan pria paruh baya ini harus meninggalkan keluarganya di tengah malam seperti ini hanya untuk menjemputnya yang sudah melacur... membuat perasaan tidak nyaman menggerogotinya kuat.

“Ayo, Mbak Irish, saya antar saja. Lagipula ini sudah larut banget, Mbak. Bahaya kalau nunggu ada angkutan umum.”

Daren sialan.

“Sebentar ya, Pak. Saya telepon dulu Pak Daren.”

Irish sedikit menjauh untuk menghubungi pria yang kemungkinan sekarang sudah tidur pulas. 

Dia tidak peduli. Daren harus mengangkat teleponnya.

Di luar perkiraan, Daren mengangkat panggilan tak lama setelah nada sambung terdengar.

Lust of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang