Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Violet langsung turun dari mobil Januar begitu sudah sampai di gedung apartemennya. Violet bahkan melupakan fakta Januar jadi mengetahui lokasi tempat tinggalnya.
Violet berjalan cepat menuju lift. Seolah takut Januar akan mengejarnya. Ketika lift tiba di lantai unit apartemennya, dia hampir terhuyung ke luar.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Violet membuka pintu dan melangkah masuk. Lalu, langkahnya tiba-tiba terhenti di ruang tamu.
Percakapan dengan Januar tadi tidak bisa lepas dari kepalanya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Napas tidak teratur. Lalu, lututnya mendadak terasa lemas buat Violet jatuh terduduk di lantai begitu saja.
Air mata yang Violet tekadkan tidak akan pernah keluar lagi untuk pria itu pada akhirnya tumpah juga. Semua kenangan yang selama ini dia coba lupakan menghantamnya dengan keras. Bukan hanya kenangan bersama Januar, tapi juga rasa sakit yang lebih dalam yang selama ini dia simpan rapat-rapat hanya untuk dirinya sendiri.
Tubuhnya mendadak gemetar saat dia kembali mengingat rasa sakit yang pernah membuatnya ingin menghilang dari dunia. Rasa sakit yang tidak ingin Violet ingat lagi karena sesungguhnya dia belum sepenuhnya berdamai dengan kenyataan itu.
Tanpa sadar, tangan Violet bergerak menyentuh perutnya, meremas perut kosongnya dengan penuh kesakitan. Perut kosong yang dulu... pernah tumbuh janin, anaknya dengan Januar yang gugur sebelum dia menyadari kehadirannya.
***
Violet sudah sangat bingung bagaimana harus menghadapi Januar setelah percakapan terakhir yang terjadi di mobil. Namun, yang terjadi tidak sesuai kekhawatirannya. Januar justru kembali bersikap biasa dan profesional. Seolah percakapan di mobil tidak pernah terjadi.
Di hari-hari berikutnya, interaksi mereka hanya sebatas tentang pekerjaan. Pria itu tidak lagi mencari-cari kesempatan untuk berbicara hal lain selain urusan pekerjaan.
"File-nya sudah saya siapkan, Pak. Tinggal tunggu persetujuan dari pihak marketing."
Januar mengangguk singkat. Memeriksa laporan yang diserahkan Violet tanpa banyak bicara. "Pastikan data anggarannya sesuai dengan revisi terakhir, ya. Saya tidak mau ada kesalahan di depan klien nanti."
"Baik, Pak. Saya akan cek lagi."
Januar kembali mengangguk singkat. "Kamu boleh keluar," intruksinya dengan tanpa menatap Violet sama sekali.
Tidak ada nada akrab. Tidak ada basa-basi. Tidak ada ajakan makan siang mengatasnamakan pekerjaan. Tidak ada sikap Januar yang memanfaatkan posisinya sebagai atasan untuk kepentingan pribadinya. Hanya sebuah hubungan profesional antara atasan dan sekretaris.
Begitu lah hari-hari Violet di kantor kembali berlalu.
Violet merasa lega. Tapi, di sisi lain ada perasaan aneh yang tidak bisa dia pahami — atau mungkin tepatnya dia menolak untuk memahami.
Menjelang makan siang, Violet meninggalkan mejanya, mengetuk pintu ruangan Januar. Dia membukanya setelah mendengar sahutan dari dalam.
"Sudah waktunya makan siang, Pak." Violet hanya melongok di depan pintu, mengingatkan pria itu sebagai bentuk formalitas saja. Meskipun sejujurnya sedikit khawatir pria itu akan mengajaknya makan siang bersama seperti waktu itu.
Di depan sana, Januar terlihat masih sibuk dengan dokumen-dokumen yang bertebaran.
"Silakan kamu istirahat duluan saja," sahut pria itu tanpa mengalihkan tatapnya dari dokumen di hadapannya.
"Mau saya belikan sesuatu, Pak, untuk makan siang?" Terkadang jika sedang sibuk Januar memang jarang makan di luar. Dan Violet selalu menawarkan untuk membelikan makan siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lust of Love
Historia CortaMature Content [21+] Kumpulan short story. Edisi sayang kalau hanya mendekam di draft dan belum sreg untuk dijadikan long story. Sooo enjoy!! © nousephemeral, 2023. all pictures, inside cover © pinterest.