"Ben, maaf banget. Kemarin malam gue ada urusan mendadak. Terus hape gue hilang jadi gue nggak bisa ngabarin lo. Sori banget, ya, Ben." Adalah alasan yang Davira berikan kepada Beni atas pembatalan janji yang tiba-tiba kemarin malam. Untungnya saat Beni menghubunginya malam itu, Davira tidak mengeluarkan sepatah kata pun jadi alibi ponselnya yang hilang cukup masuk akal.
Davira sungguh merasa bersalah kepada Beni. Bahkan sekarang pun dia merasa tidak punya wajah untuk berhadapan dengan laki-laki yang menjawab, "nggak papa, Vi. Syukur kalau lo baik-baik aja. Soalnya semalem gue khawatir ada apa-apa sama lo." Jawaban itu hanya membuat Davira semakin merasa bersalah.
"Sori banget ya, Ben." Davira mengernyit penuh rasa bersalah.
Beni diam sejenak. Lantas bilang, "sejujurnya gue emang agak kecewa sih, Vi. Tapi gue nggak marah kok beneran. Tapi kalau boleh sebagai gantinya gue mau malam ini kita nonton. Lo mau nggak?"
Sejujurnya setelah ini Davira berniat berhenti memberi harapan kepada Beni. Dia merasa menjadi wanita jahat dan buruk seandainya terus memberi harapan kepada laki-laki lain padahal dia sendiri sedang berharap pada laki-laki lain yang tak lain dan tak bukan adalah Arga.
Setelah memikirkan semuanya antara berhenti memberi peluang bagi laki-laki lain untuk mendekatinya atau berhenti melakukan semua yang telah dia lewati bersama Arga, Davira memilih pilihan pertama. Untuk saat ini dia tidak yakin bisa menjauh dari Arga. Lebih tepatnya tidak siap melepas Arga.
Meskipun itu artinya berharap pada Arga dan memilih semakin dekat kepada laki-laki itu sama saja seperti membiarkan hatinya patah lebih keras lagi.
Tapi sekarang Davira tidak bisa memikirkan alasan yang tepat untuk menolak ajakan Beni. Itung-itung menebus perasaan bersalah dan terakhir kalinya dia memberi harapan kepada laki-laki itu maka Davira menerima ajakan nontonnya nanti malam.
Keputusan yang salah.
Saat sedang menunggu film horor yang akan dia dan Beni tonton diputar, sudut mata Davira menemukan seseorang yang baru datang menempati kursi di sampingnya yang tadi kosong. Davira awalnya tidak terinterupsi, namun aroma parfum--wangi yang sangat dia kenali--yang dibawa orang yang baru duduk di sampingnya itu membuatnya menoleh dan segera terkejut dibuatnya.
Arga tersenyum miring tipis.
Davira masih tidak percaya dengan kebetulan ini. Dari sekian kursi yang tersedia kenapa bisa sampai kebetulan Arga menempati kursi di sampingnya.
Davira sempat ge-er Arga mengikutinya saat tahu-tahu, "Hai, Vi. Kebetulan banget." Suara yang setengah berbisik itu membuat Davira mengalihkan atensinya dari Arga.
Saking kagetnya dengan kehadiran Arga, Davira sampai tidak menyadari ada Clara yang duduk di samping sahabatnya itu.
"Eh, hai?" Davira sedikit meringis. Dalam hati mengatai dirinya sendiri bodoh. Bisa-bisanya berpikir Arga ke sini karena mengikutinya. Jadi malu sendiri.
"Loh, Ga, di sini juga." Beni yang sejak tadi fokus menatap layar jadi ikut terinterupsi saat mendengar suara Davira.
Arga hanya mengangkat kedua alis sebagai respons. Sejurus kemudian film horornya mulai diputar.
Davira mencoba menyingkirkan rasa cemburunya menemukan Arga datang nonton bersama Clara.
Saat sedang mencoba menikmati tayangan yang terputar di layar--meskipun sambil was-was takut tiba-tiba ada jumpscare, Arga berbisik tepat di samping telinganya. "Sok-sokan nonton film horor."
Davira melirik melalui sudut matanya. Arga jelas sangat hafal dirinya.
Davira tidak menyukai hal-hal berbau horor. Tapi saat Beni mengajak menonton film horor, dia terima-terima saja. Harapan Beni mungkin Davira bisa memeluknya atau bersembunyi di belakang tubuhnya saat ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lust of Love
Cerita PendekMature Content [21+] Kumpulan short story. Edisi sayang kalau hanya mendekam di draft dan belum sreg untuk dijadikan long story. Sooo enjoy!! © nousephemeral, 2023. all pictures, inside cover © pinterest.