Violet bingung harus merespons bagaimana atas kejujuran Januar. Yang di saat bersamaan membuatnya kembali patah, namun buat hatinya sedikit tersentuh.
Violet tidak tahu apa pria itu sungguh menyesali perbuatannya. Dan benar-benar menyayanginya dengan tulus. Karena jika pria itu hanya sedang bersandiwara, maka Violet sungguh tertipu dengan aktingnya.
Rasanya ingin sekali Violet langsung menolak memberi kesempatan kedua. Tapi, alih-alih mengucapkannya dengan lantang, lidah Violet mendadak kelu. Suaranya seakan tiba-tiba hilang.
Jadi, yang dilakukan Violet hanya diam. Seolah dia begitu sulit untuk menentukan pilihan antara menegaskan dia tidak ingin kembali atau justru memberi Januar kesempatan untuk kembali bersama.
Mungkin otaknya terlalu diajak berpikir keras sampai Violet tiba-tiba kembali merasakan pusing.
Pada dasarnya dia kan memang belum benar-benar pulih. Tadi pun sebelum membuka pintu dia harus berdiri cukup lama sambil berpegangan untuk sedikit meredakan pusingnya terlebih dahulu.
Violet sontak memejam sembari memegang kepalanya saat pusing yang dirasakannya semakin mengganggu. Semua itu tak luput dari perhatian Januar sehingga ketika melihat Violet memegang kepalanya Januar spontan mendekat, memegang lengannya seolah takut jika Violet tiba-tiba ambruk.
"Istirahat lagi, ya."
Logika Violet menyuruh untuk menghempaskan tangan pria itu dan menyuruh pergi. Tapi, dia justru diam saja seolah menunggu apa yang akan Januar lakukan selanjutnya.
"Di mana kamar kamu? Biar saya antar ke sana."
"Saya bisa sendiri, Pak." Untuk tawaran itu, Violet sontak menolak. "Terima kasih atas perhatiannya. Tapi, sebaiknya Bapak pulang saja."
Dengan tangan yang masih memegang kepala, Violet berbalik badan. Ketika kakinya melangkah, tubuhnya tiba-tiba oleng. Yang sejurus kemudian pinggangnya langsung direngkuh oleh sebuah tangan besar.
"Let me, Vio. Saya tidak akan macam-macam." Suara yang terdengar tulus dan serius itu pada akhirnya buat Violet pasrah saja ketika Januar membimbingnya menuju kamar yang dia tunjukkan.
Violet tidak mengerti kenapa dirinya tiba-tiba merasa lemah seperti ini. Kenapa seakan dia sakit parah sampai harus dituntun? Mungkin selain karena pusing, efek belum makan juga yang membuatnya merasa lemas seperti sekarang.
Ya, pasti hanya karena itu.
Bukan hatinya yang lemah karena Januar.
Violet tidak ingin mengakui bahwa dia sedikit merasa tegang dan jantungnya berdebar karena merasakan tangan Januar di pinggangnya, buat tubuh mereka menempel rapat. Perasaan tegang dan gugup yang dirasakannya pasti hanya karena canggung. Bukan karena hal lain.
Violet memberi gestur agar Januar melepaskan pinggangnya ketika mereka sudah sampai di pintu kamar. Untuk kesekian kalinya lagi, dia menggumamkan terima kasih. Namun, kali ini tidak disertai dengan mengusir seakan membebaskan Januar jika mau tinggal lebih lama.
Violet mengira Januar akan mengikuti masuk ke dalam kamarnya. Nyatanya pria itu tetap berdiri di ambang pintu.
"Vio?" panggilnya. Suaranya begitu lembut. "Saya boleh tinggal di sini lebih lama? Hanya sampai membuatkan sup untuk kamu."
Violet tidak langsung menjawab. Dirinya sudah duduk di tepi kasur. Menunduk sembari memainkan ujung bajunya tanpa sadar. Seolah jiwa anak kecilnya kembali muncul ke permukaan begitu saja.
"Please, ya. Kamu butuh makan."
"Cuma buatin sup aja kan?" Nada bicara Violet terdengar tidak lagi seformal sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lust of Love
Short StoryMature Content [21+] Kumpulan short story. Edisi sayang kalau hanya mendekam di draft dan belum sreg untuk dijadikan long story. Sooo enjoy!! © nousephemeral, 2023. all pictures, inside cover © pinterest.