And I thought I saw you out there crying
And I thought I heard you call my name
And I thought I heard you out there crying
—Adam Levine◀❇❇✳❇❇▶
Hazel punya alasan mengapa ia mampu membenci sekaligus mencintai laut di waktu bersamaan. Keindahan alam yang tiada duanya dan hanya dimiliki oleh laut itu sering menjadi luka dan cinta bagi banyak orang. Laut bisa memperlihatkan keindahan matahari terbenam dan terbit di balik hamparan airnya, laut bisa menjadi obat bagi mereka yang memiliki masalah pernapasan dan mencari ketenangan jiwa, laut bisa menjadi latar dimana kebahagiaan dimulai.
Hazel mengaitkan jari-jarinya diantara jemari besar Danu-papanya. Kaki itu membelah bibir pantai, hamparan pasir mencumbu telapak kakinya yang telanjang. Bersamaan dengan matahari yang hendak terbenam, pasangan ayah dan anak semata wayang itu berjalan dengan perasaan kehilangan.
Burung berterbangan, dirgantara berubah jadi oranye, dan tentunya ombak laut yang membawa bising khas ke gendang telinga. Diantara keindahan ini, dimanakah mamanya yang cantik bertengger mengamati Hazel dan papanya?
Hari ini, genap sepuluh tahun Ivana meninggalkan orang-orang yang ia cintai. Suaminya, anak perempuannya, orang tua, hingga sahabat-sahabatnya yang kerap datang menjenguk makam tanpa nisan berikut.
Pantai masih cukup ramai, atau mungkin lebih ramai dari yang biasanya Hazel ketahui sebab yang pergi ke laut lepas bukan cuma wanita terkasihnya. Ada puluhan orang lain yang turut tenggelam dalam tragedi jatuhnya pesawat penerbangan internasional dari Belanda ke Indonesia itu. Pendatang pantai saat ini kontras. Bagi mereka yang tidak memahaminya, sibuk menikmati keindahan matahari terbenam. Dan bagi mereka yang bernostalgia, bermacam-macam reaksi dikeluarkan. Menangis, meratapi, atau diam tanpa reaksi khusus seperti Hazel dan Danu.
"Pa, Hazel mabuk." Gadis itu mengusap perutnya sambil menatap Danu tidak enak.
Belum lama ini ia turun dari kapal, perutnya mual bukan main selama perjalanan. Tapi demi menjumpai sang ibu, gadis itu menahan semuanya sampai bunga yang ia bawa ditabur ke laut lepas.
"Kayak mama," balas Danu. Ia mengeratkan genggaman tangannya. "Mama mabuk laut juga, tapi malah ketemu papa yang saat itu masih kerja di pesiar."
Lalu Hazel dan Danu tertawa renyah. Entah sudah berapa kali keduanya melewati percakapan yang sama sepuluh tahun terakhir, tapi mereka tidak bosan. Hazel akan mengaku masih mabuk laut, kemudian Danu akan menjawab bahwa mediang istrinya pun mengalami hal serupa dan menemukan cintanya lewat sesuatu yang wanita itu benci.
Danu mengusak rambut kecokelatan putrinya itu. "Habis ini kita pulang ya, anakku."
"Tapi Hazel mau makan oyster mumpung lagi di sini."
"Boleh, sayang."
Hazel tersenyum teduh, terlebih saat bibir ayahnya mencumbu ujung kepalanya lama. Terjadi sebuah ledakan besar di hati yang kelabu, menggiring perasaan hangat nan kasih sayang itu melebur dalam nuansa duka yang dominan.
Anak itu melepas genggaman tangannya untuk memeluk tangan Danu. Ia menyandarkan kepalanya ke pundak sang ayah, berjalan bersama dengan perasaan gundah.
Kalau mama masih ada, aku bakal sebahagia ini nggak ya?
Sebab kalau Ivana masih hidup, Danu tidak akan berhenti bekerja di pelayaran dan jarang bertemu dengan anak semata wayangnya. Danu akan tetap menjadi pria yang canggung dalam mengutarakan perasaan, begitu juga dengan Hazel yang belum tentu akan senyaman ini berada di pelukan ayahnya. Kepergian Ivana membuat mereka yang tak dekat menjadi dekat, namun kepergiannya juga menciptakan perasaan sedih yang tak disangka akan datang secepat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacang Almond
Teen FictionHazel selalu bekerja keras untuk mendapatkan validasi kejuaraan dari orang-orang sekitarnya, terkhusus ayahnya yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Segala pencapaian yang gadis itu raih membawa presepsi dalam kepalanya sendiri, bahwa seorang Ha...