27. Once in a While, World Has To Be Mean To Us

90 17 0
                                    

Beranilah dan percaya
semua ini pasti berlalu
meski takkan mudah
namun kau takkan sendiri
ku ada di sini
Afgan

◀❇❇✳❇❇▶

Sering kali, dampak dari perilaku bisa jauh lebih besar dari perkiraan. Terkhusus kejadian-kejadian yang bukan jadi hal biasa dilakukan, terlebih kepada mereka yang tidak berharap hal-hal besar itu akan terjadi di hidupnya.

Galen bukan selebritis atau apapun itu yang layak dijadikan pelampiasan rasa amarah atau hiburan di tengah peliknya perjalanan. Bukan cuma Galen, tapi seluruh nama yang terseret atas berita penganiayaan itu pun tidak layak dijadikan bahan pembicaraan apabila beritanya sendiri tidak sepenuhnya benar.

Kebetulan sekali manusia memiliki tugas untuk menjadi hakim di kehidupan orang lain, itu berarti pelaku hanya bisa berbicara jika diberi kesempatan di persidangan. Banyak bicara tak dipercaya, bertingkah pun belum tentu leluasa lantaran diborgol dan diawasi.

Kepulangan Galuh malam ini tidak disambut segembira biasanya mengingat tenaga orang-orang itu sudah habis duluan melihat topik perbincangan orang-orang di sosial media. Pria itu langsung meletakkan kopernya di dalam kamar dan pergi ke ruang pribadi Galen setelah mengganti pakaian.

Bertepatan dengan Galuh yang menutup pintu, Galen yang baru saja selesai bersih-bersih juga keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

"Ayah." Galen berjalan mendatangi Galuh kemudian mencium punggung tangannya. "Sampe pas kakak masih mandi ya?"

Galuh mengangguk. Tangannya naik mengelus pucuk kepala Galen hingga berhenti di pundak kokohnya. "Mau cerita sesuatu sama ayah nggak?"

Si anak bisu meladeni tawaran lembut ayahnya itu, kendati sudut bibirnya naik sempurna hingga menular pada sang ayah. Alih-alih mengangguk, Galen justru menggeleng kecil seraya menunjuk ke arah bagian pergelangan kakinya yang merah.

"Kaki kakak sakit, yah." Hanya itu yang Galen bicarakan. "Kakak kebanyakan berlatih dari tadi sore."

Galuh menunduk menatap lamat sepasang kaki berikut. "Masih bisa jalan kan?"

"Bisa."

"Berarti nggak akan berhenti melangkah dong, walau lagi sakit kayak gini?"

Dilihat dari raut mata serta senyum teduh di wajah yang letih habis bekerja itu, Galen paham betul apa yang sedang ayahnya bicarakan sekarang. Bukan soal kakinya yang sakit, bukan sebatas mengambil langkah sederhana.

"Tapi sabeum bilang ke kakak, kalo peluang lolos kakak mengecil karena itu."

"Itu apa?" Galuh mempertahankan kontak matanya dengan sang anak.

"Kakak mukul Evan." Namun walau kontak matanya terjaga, aura masing-masing netra terlihat begitu kontras saat Galen menjeda ucapannya sesaat. "Maafin kakak ya, ayah."

"...."

"Maaf karena kakak impulsif sama Evan dan nggak mikirin dampak perbuatan kakak, sekarang kakak beneran bikin ibu, ayah, dan adik-adik kakak malu."

Galen tidak bisa memperjelas statusnya sebagai anak pertama lantaran ia masih memiliki saudara serahimnya alias Glen. Meski begitu, Galen paham betul perkara anak pertama yang diharap bisa mengayomi dan menjaga nama baik keluarga karena Galen dan Glen adalah buah pertama yang Gina dan Galuh tanam belasan tahun lamanya. Glen si anak kedua belum sampai pada tingkat kematangan pas, tapi Galen sudah rusak karena oksidasi berlebih.

"Apa yang kamu rasain sekarang?" tanya Galuh.

Galen lagi-lagi diam, tidak punya respon tepat atas pertanyaan berikut.

Kacang AlmondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang