Ayah, dengarlah
Betapa sesungguhnya ku mencintaimu
'Kan kubuktikan
Ku mampu penuhi maumu
—ADA Band, Gita Gutawa◀❇❇✳❇❇▶
Suara samsak yang dipukul bertubi-tubi masuk ke indra pendengaran kala Galuh tiba di halaman belakang rumah. Pria itu mengaitkan telapak tangannya di belakang tubuh, berjalan santai menghampiri lelaki lainnya yang sibuk meninju samsak tipe freestanding itu.
"Yang lain malam minggunya itu pergi ke luar sama pacar, kamu malah tendangin pacar." Galuh mengambil pyongyo di rak berisikan alat-alat olahraga.
Galen menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Galuh, senyum tipisnya terbit melihat sang ayah mengangkat pyongyonya sebatas wajah dan menunjukkannya pada Galen.
"Show me," kata Galuh.
Galen langsung putar arah ke depan Galuh. Pria itu mengambil napas panjangnya sejenak seraya mengelap peluh, sebelum akhirnya kedua tangannya kembali mengepal dengan netra yang menatap pyongyo tersebut bak musuh depan mata.
Satu detik kemudian, tubuh Galen berputar tiga ratus enam puluh derajat disusul dengan kakinya yang terangkat menendang pyongyo. Gerakannya tak berhenti sampai di sana lantaran si pria kian menghabisi target, seiring dengan senyum lebar Galuh sembari menahan kuat pyongyo di genggamannya.
Galen melayangkan tinjuan keras di akhir serangan. Keduanya tersenyum lebar, antara senyum bangga dari Galuh dan senyum polos dari Galen bersatu menjadikan suasana semakin hangat. Samsak tendang tersebut Galuh taruh asal di atas matras hanya untuk menepuk lengan tak berkain Galen yang agak lembab.
"Tambah keren aja," puji Galuh.
Sungguh, ia merasa sangat puas melihat perawakan Galen sampai malam ini. Lengan bagian atasnya sudah berisi massa otot, dadanya bidang nan tegap, kakinya semakin lentur, pukulannya pun bertambah kuat. Bukan hal sia-sia mengajarkan Galen olahraga bela diri sedari anak itu kecil, Galen tumbuh menjadi laki-laki yang gagah dan bermental baja.
"Kan ayah yang ngajarin," balas Galen sembari meraih handuk kecil di sudut rak.
Anak itu mengusap peluh yang ada di area leher dan lengannya lalu mengambil botol air mineral dan minum.
"Jangan lanjut lagi, " Galuh memperingati Galen usai meletakkan pyongyo barusan ke tempat semula. "Dari tadi sore udah bak-buk-bak-buk, ayah capek dengernya."
"Iya," balas Galen sekenanya. Ia lalu menurunkan pandangannya ke arah tungkai kaki yang sudah merah.
Galuh dan Galen duduk di ubin beralaskan matras kecil berikut. Sang anak meluruskan kakinya ke depan sambil dipijat kecil, sedangkan Galuh menyilangkan kedua kaki dan menyandarkan tubuhnya dengan pergelangan tangan sebagai penopang.
"Tadi kamu ikut ibu ke panti, kak?" Galuh membuka percakapan.
"Ikut," jawab Galen seraya melirik ayahnya sesekali.
Pria paruh baya itu tersenyum manis. Ia mengusap rambut Galen dengan tatapan mata yang sulit Galen terka, tapi yang pasti, tatapan itu diwarnai rasa bangga dan hormat. "Mau nerusin jejak ibu jadi aktivis pendidikan ya?"
Mengingat semua yang telah Galen lakukan kepada Visus Melaung jelas membuat Galuh meninggalkan persepsi demikian. Dari Galen berusia tiga belas tahun, ada banyak sekali hal yang Galen pelajari di sana. Mulai dari cara membantu kelancaran program kerja, menjalankan aktivitas formal berdasarkan visi misi, menyaksikan secara langsung bagaimana ibunya berbuat baik, dan sebagainya. Jika dibandingkan dengan yang anak-anak Galuh yang lain, Galen paling mencolok di operasi organisasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacang Almond
Teen FictionHazel selalu bekerja keras untuk mendapatkan validasi kejuaraan dari orang-orang sekitarnya, terkhusus ayahnya yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Segala pencapaian yang gadis itu raih membawa presepsi dalam kepalanya sendiri, bahwa seorang Ha...