Di sini ada satu kisah
Cerita tentang anak manusia
Menantang hidup bersama
Mencoba menggali makna cinta
—Keisya Levronka◀❇❇✳❇❇▶
Ada kalanya, kita harus melihat ke bawah lebih dulu untuk menyadari seberapa tinggi dan beruntungnya kondisi yang kita hadapi. Namun banyak juga yang berpendapat, kalau bersyukur di atas ketidakberuntungan orang lain itu ibarat melahap daging temannya sendiri.
Tidak ada yang salah dengan dua pernyataan tersebut bagi Hazel, sebab orang buta pun masih perlu tongkat untuk mengetahui jalan yang ia lalui. Alias, semuanya sama asal sesuai porsi yang pas. Kalau mau lihat ke bawah jangan lama-lama, kalau tertekan di atas pun harus memeriksa kondisi dasar tanah agar tak jatuh di medan salah.
Sesepele melihat anak-anak menyimak kajian Yesaya dan Kavi di depan saja sudah berhasil membuat Hazel senang keterlaluan. Bukan senang sembarang senang, tapi senang yang.... Tidak bisa diekspresikan dengan kata-kata. Sebuah kesenangan yang jumlahnya masih meledak-ledak hingga perutnya geli.
Di kelas ini ada dua puluh satu anak. Berdasarkan penilaian tiga jam setelah pembelajaran, ada empat anak yang sangat menonjol di mata Hazel. Tiga perempuan dan satu laki-laki.
Perempuan pertama namanya Aisyah, anak itu memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Ai sehingga semua orang pun turut memanggilnya demikian. Ai pintar bergaul dan suka tersenyum, mulutnya bawel dan anaknya super ceria. Dari penampilan, Ai itu manis dengan kulit sawo matang dan rambut keriting kemerahannya. Tingginya sebatas pinggang Hazel di usianya yang sebelas tahun, badannya sangat kurus.
Perempuan kedua namanya Lia. Sama seperti Ai, dia juga suka tersenyum walau lebih pemalu. Lia sering tertangkap basah sedang memerhatikan Galen atau Kavi, saat Hazel iseng bertanya kenapa Lia suka melihat mereka, Lia bilang karena Galen dan Kavi itu tampan seperti artis. Hazel menggolongkan Lia ke dalam golongan anak polos yang mencintai kejujuran dan ketulusan. Kalau tertawa apalagi berlari, pipi Lia tumpah-tumpah saking gembulnya.
Lalu perempuan ketiga, namanya Santi. Santi tidak banyak bicara tapi tingkahnya sangat menunjukkan minat belajarnya yang tinggi. Santi suka mencari tahu dan menyimak ucapan relawan di depan kelas, Hazel percaya anak itu pintar pelajaran bahasa Indonesia dan sejarah. Hazel tidak terlalu dekat dengan Santi jika dibandingkan dengan Lia dan Ai sebab anak itu tertutup dan kesulitan bergaul dengan orang dewasa.
Yang terakhir, namanya Rafi. Mungkin karena Rafi sering digoda memiliki nama yang mirip dengan Kavi, jadinya anak itu suka mencari perhatian Kavi bagaimanapun caranya. Entah sekadar mengajak Kavi bercanda, bermain tebak-tebakan, hingga usil ke Kavi. Rafi itu tengil tapi asyik, semua orang sering tertawa karena celetukan garingnya.
Di luar itu semua, tujuh belas anak yang akan Hazel ajar selama lima hari ke depan adalah anak-anak polos yang punya daya tarik masing-masing. Anak-anak ini jarang protes saat guru relawan mereka memberi perintah untuk menjalankan program kerja. Anak-anak itu tertib, berprilaku baik, dan selalu ceria selama pembelajaran berlangsung.
"Kakak Hazel." Ai menepuk pelan lengan Hazel yang duduk di sebelahnya. "Martha Tiahahu itu sayang banget sama ayahnya ya? Makanya dia rela ngelakuin apapun sama ayahnya, sampai ikut perang."
Hazel menarik sudut bibir. "Iya. Keren ya?"
"Ai mau jadi kayak Martha Tiahahu juga."
"Harus! Ai harus jadiin pahlawan-pahlawan negara Indonesia sebagai panutan."
Rafi yang duduk di depan Hazel dan Ai akhirnya menengok lalu menatap kawan sebayanya itu polos. "Kamu kan nggak punya bapak, Ai."
Buset. Kalau begini masalahnya, sudah bukan kendali Hazel lagi. Gadis itu mengerjap sekali mendengar celetukan polos Rafi, kemudian menengok ke arah Ai ragu-ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacang Almond
Teen FictionHazel selalu bekerja keras untuk mendapatkan validasi kejuaraan dari orang-orang sekitarnya, terkhusus ayahnya yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Segala pencapaian yang gadis itu raih membawa presepsi dalam kepalanya sendiri, bahwa seorang Ha...