11. I Accept The Opportunity Because Of Her

156 29 29
                                    

Hazel rasanya mau melebur jadi udara saja kala melihat tas Galen pukul setengah tujuh pagi ini. Tumben-tumbenan anak itu sudah berangkat, malah ia yang biasanya anteng di kelas sebelum jam pelajaran kini tak terlihat dimana-mana.

Hazel mengepalkan tangannya ke bilah pintu lalu membenturkan kepalanya ke kepalan tangan itu, bibirnya mengulum kendati rutukan-rutukan untuk diri sendiri lancar sekali diucapkan dalam hati.

Hazel goblok!

Hazel gila!

Hazel malu-maluin!

Coba Hazel tanya, siapa lagi perempuan yang berani mengajak orang baru pacaran tiba-tiba? Terlebih orang yang diajak adalah Galen—pria yang kelihatannya tidak ada minat untuk mengais kisah asmara kepada Hazel, dan yang mengajak adalah Hazel—perempuan minim pengalaman yang stress duluan memikirkan nasib bapaknya mendekati hari terakhir pendaftaran.

Sumpah, Hazel sangat menyesal. Walau ia telah meminta Galen agar melupakan permintaan sintingnya, tetap saja melupakan itu usaha yang sulit dilakukan. Pura-pura lupa apalagi, malah membuat Hazel lebih malu lagi.

"Zel."

"Oh my God!" Hazel terlonjak kaget, sekonyong-konyong kepalanya terantuk bilah pintu hingga suara benturan kepala dengan kayu jati menguara kencang.

Galen spontan memegang bilah pintu yang barusan membentur Hazel, lelaki itu memandang kawan perempuannya khawatir. "Lo gapapa?"

"Euh..." Hazel mengusap-usap bagian kepalanya yang terbentur lalu melirik tangan besar Galen yang ada di dekat wajahnya. "Lo nanya gue atau nanya pintu?"

"Pintu."

"Ish!" Hazel langsung balik badan dan beranjak masuk ke dalam kelas, berusaha menyembunyikan rasa malu sekaligus perihnya tanpa mengindahkan Galen di belakangnya.

Masih dengan tangan yang bertengger di sisi kepala, anak itu meletakkan tasnya ke atas meja dan duduk siap. Hazel diam-diam memerhatikan Galen yang datang ke kursi di sebelahnya.

Sekarang memang jam setengah tujuh, tapi kelas tidak sepi-sepi amat mengingat lima siswa sedang piket hari ini. Bimo dan beberapa siswa lainnya yang rajin datang awal juga sudah menetap di kelas.

Galen melepaskan jaket denim dan penghantar suara tanpa kabelnya. Obsidian legam si adam melihat Hazel yang curi-curi pandang ke presensinya. "Lo kenapa?"

"Apanya?" balas Hazel dengan nada santai. "Gue nggak kenapa-napa, kok."

"Kemarin—"

"Jangan bahas soal kemarin, deh. Gue sensitif banget sama kemarin." Lalu Hazel benar-benar melihat ke tempat rekan sebangkunya itu dengan mimik wajah kalut. "Gue tau gue nggak tau malu, semena-mena, dan keliatan murah karena semudah itu ajak lo jalin hubungan sama gue. Tapi sumpah demi Tuhan! Gue nggak bermaksud ajak lo ke hubungan serius, gue cuma ajak lo pura-pura jadi pacar gue supaya papa lebih percaya sama gue. Itu juga bukan pacaran yang bener-bener keliatan pacaran, tapi memperdekat hubungan aja!"

"......"

"Maaf!"

"Hazel..." Galen jadi merasa tidak enak ingin menyampaikan niat awalnya. Melihat gadis itu sampai menyatukan kedua telapak tangan sembari menundukkan kepala dalam-dalam hampir saja berhasil membuat Galen canggung akan tingkah random-nya. ".... Gue ngerti kok. Tapi makalah PPKN kita gimana?"

Goblok.

Galen goblok.

Tadi, Hazel memaki diri sendiri. Sekarang, ia sudah tak mampu lagi menanggung malunya makanya lebih memilih untuk memaki Galen yang tidak bersalah. Setidaknya kalau memang tidak peduli dengan permintaan maaf Hazel, pura-pura peduli dong! Jangan cuma mengonfirmasi singkat jika ia paham maksud Hazel.

Kacang AlmondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang