"Santi belum dateng ya?"
Galen menoleh sebentar ke tempat duduk di sudut ruangan yang kosong melompong sebelum balas menatap Rafi. "Belum. Emangnya kalian nggak berangkat bareng?"
Rafi menggeleng kecil. "Ngapain juga, Santi aja selalu nggak mau setiap aku ajak main bareng."
"Kenapa?"
"Santi nggak suka cowok."
Rafi tidak tahu kalau setelah bicara demikian, Galen justru memberikan tatapan janggal sekaligus bertanya-tanya kepadanya. Galen pikir, mungkin daripada tidak suka bergaul dengan cowok, Santi lebih menjauhi Rafi selaku teman cowok yang suka usil ke perempuan.
Bocah berkulit hitam itu melihat ke depan, mengamati setiap huruf yang Hazel tulis untuk membentuk serangkai kata 'dokter' sembari ia eja perlahan-lahan. Sementara tangan kanannya memegang kapur, tangan kiri Hazel diliputi oleh boneka tangan yang melambangkan profesi tenaga kesehatan itu.
Kelas intrapersonal sekaligus motivasi orientasi masa depan dipimpin penuh oleh Hazel. Gadis itu memimpin kelas dengan baik lewat dongeng panjang yang ia ceritakan via boneka-boneka itu dibantu oleh Galen dan Kavi.
Rafi menoleh ke sebelah kanan, tepatnya ke tempat Galen duduk dan memerhatikan pengajar yang ada di depan dengan serius. "Kak Galen."
Galen menengok lagi. "Iya, Fi?"
"Kamu punya cita-cita?"
"Kamu punya?" Galen malah balik bertanya bukannya menjawab, bikin perhatian Rafi yang awalnya tertuju padanya kini jadi tertuju pada diri sendiri.
"Aku mau punya cita-cita, tapi aku bingung loh, kak." Anak itu mendengus malas. "Sebenernya aku mau jadi pedagang kain tenun, tapi susah. Aku mau jadi guru, tapi aku nggak pintar. Aku mau jadi orang yang suka olahraga di tv-tv itu, tapi nggak bisa."
"Itu namanya nggak percaya diri," sahut Galen mentap. Pria itu harus menunduk sedikit agar bisa bersemuka dengan Rafi yang jauh lebih pendek darinya. "Tadi baru dijelasin lewat dongeng sama kakak Hazel, kamu nggak akan jadi apa-apa kalo kamu nggak percaya diri."
Rafi manggut-manggut. "Kakak Hazel mau jadi dokter ya?"
"Iya."
"Butuh berapa banyak uang supaya bisa jadi dokter?"
Galen diam sesaat, sedang memilah jawaban tepat kepada anak yang sedang krisis identitas itu.
"Begini, Fi.."
Saat Galen bilang begitu, Rafi menatap Galen dengan tatapan serius.
"Jadi dokter itu harus pintar. Punya uang memang harus, tapi punya kecerdasan itu jauh lebih penting. Ada kok orang beruntung yang bisa jadi dokter tanpa keluar banyak uang karena mereka pintar. Jadi kalo menurutku, siapapun bisa jadi apapun asalkan dia mau dan cerdas."
Rafi menyimak ucapan Galen dengan cermat serta seksama. Netra cokelat terangnya mengamati boneka tangan yang ada di atas meja, boneka tersebut melambangkan profesi abdi negara dengan pakaian loreng-loreng hijau serta wajahnya garang bukan main.
Ada dokter, tentara, guru, serta politikus-politikus seperti presiden dan anggota dewan yang dipersembahkan hari ini. Para pendongeng bilang, orang-orang yang mereka presentasikan barusan adalah orang-orang yang berperan besar untuk sebuah negara dan sangat dihormati banyak orang. Rafi juga sangat ingat saat Hazel bicara soal usaha-usaha bela negara yang tenaga medis lakukan terkait pandemi virus covid-19 beberapa saat lalu.
Kalau bapak bilang dokter itu dukun yang minta dibayar mahal, Hazel buka suara jika dokter adalah sosok penyelamat yang harus mengorbankan banyak hal untuk menjadi seorang dokter—alias, dokter adalah orang yang bisa dipercaya kalau kita butuh pengobatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacang Almond
Teen FictionHazel selalu bekerja keras untuk mendapatkan validasi kejuaraan dari orang-orang sekitarnya, terkhusus ayahnya yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Segala pencapaian yang gadis itu raih membawa presepsi dalam kepalanya sendiri, bahwa seorang Ha...