BAB 23

29.3K 3.3K 131
                                    

"Apa aku akan mati?" batin Viera sebelum matanya terpejam dengan sempurna.

***

Suara derap langkah kaki terdengar begitu menggema di satu lorong sebuah rumah sakit. Axel terus memanggil-manggil dokter untuk segera memeriksa keadaan Viera yang berada di gendongannya.

"DOKTER! DOKTER!" teriak Axel dengan kencang.

Seorang dokter perempuan yang baru saja keluar dari salah satu ruang rawat pasien pun sontak terkejut dan segera berlari kearah Axel yang masih terus berteriak.

Dokter itu memeriksa Viera sebentar, lalu menyuruh dua suster yang lewat untuk mengambil branker. Setelah branker itu datang, Axel langsung meletakkan Viera dengan pelan.

"Bawa dia ke ruang rawat 12!" pinta dokter perempuan itu.

Kedua suster pun mengangguk, mereka langsung mendorong branker tersebut ke ruang 12 dengan diikuti oleh dokter perempuan tadi dan keluarga Dirgantara.

Sesampainya di ruang rawat 12, Viera langsung dimasukkan ke dalam untuk diperiksa lebih lanjut. Sedangkam keluarga Dirgantara yang tidak diperbolehkan masuk pun hanya bisa berdiri cemas di depan ruang rawat.

Alexa menggigit kukunya panik, sedangkan Axel mengusap wajahnya kasar. Jujur, ini jauh melenceng dari sekenario yang mereka buat terhadap Viera.

"Sialan..." desis Axel tajam.

Selang beberapa saat, pintu ruangan itu terbuka dan menampakkan sosok dokter perempuan tadi dengan bercak darah di baju putih miliknya.

"Dengan keluarga pasien?" tanya dokter itu.

"Saya...saya orang tuanya, dok!" jawab Axel dan Alexa dengan ragu.

Dokter itu pun mengangguk, "Baik, jadi begini Tuan dan Nyonya. Karena terjadi pendarahan di kepala pasien. Pasien pun menjadi kekurangan darah, kebetulan stok darah di rumah sakit ini hanya tinggal satu kantong. Dan kami masih membutuhkan sekitar satu kantong lagi."

"Ka-kalo boleh saya tau, golongan darahnya apa ya dok?" tanya Alexa gugup.

"Golongan darah pasien adalah A+."

Deg!

"Golongan darah itu hanya dia yang punya," batin Alexa.

***

Di hamparan rumput hijau yang luas. Terlihat seorang gadis cantik tengah memandang takjub tempat tersebut. Gadis cantik itu adalah Xara Denada, seorang siswi yang mati karena jatuh dari rooftop sekolahnya.

"Apa ini surga? Sangat indah," ucap Xara dengan senyum tipis di bibirnya.

Rambutnya yang hitam legam bergerak tenang tertiup angin. Wajahnya yang manis terlihat sangat cantik dengan sorotan sinar matahari.

"Ini bukan surga, tapi alam bawah sadar." Seorang anak kecil perempuan tiba-tiba saja datang dan berkata tepat di samping Xara yang sedang duduk menikmati indahnya surya.

Xara yang merasa tidak asing dengan suara itu pun menolehkan kepalanya. Mata Xara melebar ketika ia melihat sosok anak kecil berwajah cantik dengan gaun putih selutut yang membungkusnya.

"Viera..." lirih Xara dengan mata berkaca-kaca.

Viera tersenyum, "Iya...ini aku, Kak. Viera Grazzea."

Dengan cepat Xara memeluk tubuh mungil itu dengan erat. Ia menangis keras di pelukan Viera. Rasa bersalah terus menyelimuti hati Xara yang telah mengambil alih tubuh Viera.

"Maafin, Kakak. Kakak nggak bermaksud buat ambil alih tubuh kamu," isak Xara.

Mendengar permintaan maaf dari Xara, Viera terkekeh. Ia melepaskan pelukan Xara dan mengusap air mata yang mengalir di pipi tirus gadis itu.

"Ini bukan salah kakak. Ini semua takdir," ujar Viera dengan suara lembut tanpa emosi.

Xara menggeleng, "Enggak dek, Kakak udah salah ambil tubuh kamu. Kakak...kakak nggak pantes dapet itu semua dari kamu, Dek."

Xara kembali menangis, membuat seorang pemuda yang sedari tadi melihat adegan itu dari jauh menghela nafas pelan dan berjalan mendekati mereka berdua.

"Takdir tidak ada yang tau. Begitupun denganmu, Xara," ucap pemuda itu.

Xara mendongak, membuat pemuda itu tersenyum hangat kearahnya. Wajah pemuda itu tampan dengan rahang yang tegas dan rambut hitam legam bak malam tanpa bintang.

 Wajah pemuda itu tampan dengan rahang yang tegas dan rambut hitam legam bak malam tanpa bintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu..." Xara menatap pemuda di depannya itu dengan intens.

Pemuda itu terkekeh, "Aku Fel, aku adalah orang yang mengutus sistem untuk menemanimu di dunia barumu."

"Jadi..." Xara menatap Viera dan Fel bergantian. Ia masih bingung dengan keadaan.

"Aku akan menjelaskannya..." ujar Fel yang ikut duduk di atas rerumputan seperti Xara.

Sekarang, mereka bertiga pun duduk diatas rumput hijau yang sangat indah. Mereka terlihat seperti keluarga yang harmonis dan mesra.

"Aku tau hidupmu di masa lalu sangat berat. Hidup tanpa figur orang tua dan selalu menjadi bahan lelucon orang-orang dewasa dengan sebutan anak haram." Fel mulai bercerita dengan Viera dan Xara sebagai pendengar setia.

"Kamu pun tumbuh menjadi gadis yang nakal dan keras kepala untuk melindungi dirimu sendiri karena tidak ada sosok ayah yang akan melindungimu dari masalah."

"Setelah itu, kamu mati ditangan sahabatmu sendiri. Dan terbangun di tubuh Viera yang mengalami trauma berat karena Alysa Dirgantara."

"Tunggu, apa hubungannya trauma Viera dan Alysa?" tanya Xara heran.

"Lima bulan sebelum kamu masuk ke tubuh Viera. Viera melihat aksi Alysa yang menusuk mata seorang anak kecil dengan sebuah pensil."

Deg!

"Alysa tidak tau bahwa aksinya itu dilihat oleh Viera. Dan sejak saat itu, Viera sering diam dan tidak mau berinteraksi dengan anak-anak lain."

"Karena tidak ada seorang pun yang tau tentang hal itu. Mental Viera pun semakin lama semakin parah. Dan kamu...bisa mengubah itu semua."

"Tapi...aku merasa-" Fel menepuk bahu Xara pelan.

"Hidup ini untukmu, Xara. Hiduplah seperti yang kamu inginkan. Tapi ingat, jangan pernah kamu sakiti orang-orang yang sangat menyayangimu," ucap Fel dengan bijak.

Xara mengangguk, kini dirinya sudah sedikit mengerti tentang alasan mengapa ia masuk ke dalam novel yang sudah selesai dan menjadi anak antagonis.

"Keluarga...apa kalian ingin aku merasakan arti sebuah keluarga?" tanya Xara yang dibalas anggukan oleh Viera dan Fel.

"Baiklah...aku mengerti sekarang. Terimakasih Viera, terimakasih...Fel," ucap Xara dengan tersenyum tipis.

"Sama-sama, Xara."

BERSAMBUNG

Jadi Anak AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang