Deru napasnya tak beraturan dan semakin lemah setiap detiknya. Denyut jantungnya tak lagi berirama. Apa ini sudah waktunya? Bahkan sebelum ia merasakan apa itu yang namanya kehidupan? Pikirnya dengan tatapan mata kosong.
Entah sudah berapa lama ia bersandar pada sebuah pohon besar yang kini menyembunyikan sosoknya. Hampir semua indranya mulai tak menjalankan fungsinya lagi. Suara di sekitarnya mulai berdenging, pandangannya kabur, dan ia kalut dalam pikirannya sendiri.
Sesekali ia berusaha menyadarkan dirinya, membuatnya tetap terjaga dan waspada, setidaknya hanya dirinya sendiri yang bisa ia percaya di saat semua orang mengkhianatinya, kan?
Tak terasa pertahanannya runtuh, air matanya mengalir melalui sudut mata elang itu dan melewati pipinya.
"Heh," kekeh Alpha dengan telapak tangan yang terus berusaha menahan darah yang kini mengalir deras keluar dari tubuhnya.
"Sial!" pekiknya.
Ia segera mengusap air matanya dan menarik napas panjang berusaha menguatkan dirinya, dengan sebuah pikiran, 'Ini masih bukan apa-apa'.
Sepasang mata tampak menelusuri gelapnya malam, menatap tajam ke segala arah mencari sosok pria yang tengah dikejarnya.
Tangannya terangkat setinggi pelipis dengan ketiga jari menekuk, menyisakan jari telunjuk dan jari tengah yang menempel, lalu menggerakkannya maju sambil menatap ke depan memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk segera bergerak.
Sangat pelan namun masih terdengar, suara langkah kaki mengendap yang terus berjalan cepat ke arahnya. Alpha segera membuka matanya yang sejenak terpejam, lalu beranjak dari posisinya dan berjalan cepat dengan tertatih berusaha melarikan diri.
Manik matanya kini membidik tepat ke arah sebuah bangunan kosong tak berpenghuni yang terletak tak jauh dari posisinya ditengah hutan itu. Dengan sisa tenaga yang ada, ia berusaha mencapai tempat itu dengan susah payah.
Jalan setapak menuju rumah itu tampak dipenuhi oleh semak belukar. Kakinya kini terhenti tepat di serambi bangunan itu. Sebuah bangunan yang terlihat sudah sangat lama ditinggalkan. Tembok putihnya terlihat menghitam dengan tumbuhan rambat dan lumut yang menghiasinya. Kaca-kaca pada jendela rumah itu tampak pecah dan kotor. Balok-balok kayu pada atapnya terlihat lapuk, dan seakan bisa roboh kapan saja. Alpha melangkahkan kakinya memasuki rumah itu.
Tangannya meraih gagang pintu, dan mendorongnya pelan. Pintunya berderit dengan keras begitu terbuka. Matanya tetap waspada menelusuri gelapnya ruangan di dalam rumah itu dari sela-sela pintu yang terbuka.
Ruangan sepetak dengan perabotan yang masih tersisa itu terlihat begitu kotor tertutup debu yang tebal, dan sarang laba-laba. Udara di ruangan itu dipenuhi oleh bau tanah yang lembab dan dedaunan yang membusuk, segar tapi juga pengap. Aroma kayu tua yang mulai lapuk menyatu dengan wangi jamur dan lumut yang tumbuh di sudut gelap ruangan itu. Aroma serangga yang khas juga ikut bercampur di antaranya. Aroma yang sangat khas yang langsung tercium oleh Alpha begitu memasuki rumah itu.
Tak ada lagi yang ia pikirkan, tubuhnya ambruk begitu saja sesaat setelah ia memasuki tempat itu. Ia terbaring lemas di lantai tanah yang dingin, seolah-olah sisa tenaganya tak lagi tersisa hanya untuk sekadar menguatkan hatinya yang goyah.
"Apa hanya sampai sini?" gumamnya sambil tersenyum miris meratapi keadaannya.
Matanya menatap ke langit-langit dengan sayu. Pikirannya sudah tak karuan. Tangannya terasa berat hanya untuk menggenggam sebuah pistol. Sebuah revolver berkaliber 44 yang dipegangnya kuat sejak tadi, kini terasa sangat berat hanya untuk sekadar digenggam. Enam peluru terakhir kini hanya tersisa satu yang sengaja ia simpan untuk kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.
Ia menatap tajam ke arah senjata apinya itu. Hanya ada dua pilihan yang tersisa. Mati di tangan musuh atau di tangan sendiri. Alpha terkekeh sekali lagi. Setelah bersusah payah ia bertahan hidup dengan melarikan diri dari musuhnya, haruskah ia mati di tangan musuhnya itu? Tentu tidak. Bunuh diri itu lebih baik. Begitulah pikirnya.
Sesaat ia terdiam, tubuhnya terbaring lemas, dan ia kembali berkelut dengan pikirannya sendiri. Sejenak ia menyadari suatu hal. Kekuatan yang tadinya hilang, seakan kembali terisi penuh. Matanya membulat sempurna, sebuah seringai terukir lebar dengan jelas di wajahnya. Ia menghela napas kasar sembari berkata, 'Setidaknya tidak untuk kali ini'.
Alpha kembali beranjak dari posisinya dengan sebuah rencana yang kini memenuhi kepalanya. Mungkin inilah jawaban yang selama ini ia cari.
Salah satu tangannya mengepal dengan kuat, menggenggam sebuah harapan akan, 'Kebebasan'. Sebuah keinginan untuk merasakan arti sebenarnya dari sebuah kata, 'Hidup'.
"Move move move!" teriak seorang pria begitu netranya menangkap sebuah siluet seseorang yang tidak asing di matanya muncul dari balik tembok bangunan yang terlihat tidak jauh dari pandangannya.
Tangannya mengepal dengan kuat dan terangkat setinggi pelipis, memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk menahan serangan.
Langkahnya perlahan menyusuri semak belukar itu, dengan pasti ia berjalan mendekatkan dirinya pada sosok di balik siluet yang terbidik oleh manik matanya.
Pupil nya membesar, dan netranya menelusuri tirai malam yang gelap, memindai seluruh tempat itu tanpa melewatkan satu sudut pun.
"It's not the time."
("Ini bukan waktunya.")DOR!
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm the VILLAIN
Teen Fiction[SEDANG DALAM PERBAIKAN] Setelah semua yang ia korbankan, bahkan termasuk seluruh hidupnya, tapi kenapa justru kematian adalah balasannya? Apakah kehidupan itu benar-benar adil? Tidak, apa bahkan ia bisa dikatakan, 'Hidup'? Code name ALPHA. Seorang...