23-Penghianat

330 33 11
                                    

"Bagaimana? Apa kau menerima tawaranku?" Ucap seorang pria yang terlihat berusia pertengahan 20 an.

Nampak sepasang manik mata tengah menatap kagum tumpukan uang yang ada di depannya.

"Pikirkan saja, bukankah uang-uang ini cukup banyak untukmu memulai hidup baru dengan putramu. Dengan ini, bukankah kau bisa menebus kesalahan mu pada putra mu selama ini karena kau tidak bisa menjadi ibu yang baik? Setidaknya salah satu anakmu akan tetap terawat dengan baik, kan?" Ujar pria itu berusaha meyakinkan.

"Hei dengarkan aku, bukankah kau lebih baik merawat salah satu anak mu dengan baik, daripada bersikeras merawat mereka berdua, dan malah membuat mereka berdua atau salah satunya tersiksa? Perasaan mu sebagai seorang ibu pasti pernah berpikir bahwa apa yang kau perbuat selama ini salah, dan jujur saja kau menyayangi mereka, kan? Maka dari itu kau fokuslah menjadi ibu yang baik, bahagiakan salah satu putramu itu. Dan anakmu yang lain percayakan saja padaku, aku pasti akan membesarkan nya dengan baik." Sambung pria itu kembali meyakinkan.

Tanpa mereka sadari terdapat telinga dari seorang lelaki kecil yang tengah mendengar dengan seksama pembicaraan mereka.

"Baiklah. Aku akan merawat Vin." Jawab wanita itu.

Terdengar seperti petir yang menyambar di siang hari, kalimat itu seperti tikaman yang menusuk hati kecilnya. Apa dia beban bagi ibunya? Apa dia anak yang tidak diinginkan? Kenapa dia harus dilahirkan? Kenapa ibunya membuangnya? Banyak sekali pertanyaan yang menumpuk memenuhi kepala kecil itu.

"Apa dia bocah yang sedang bermain di teras itu?" Tanya pria itu, dan dibalas anggukan ringan oleh wanita itu.

"Lalu siapa nama anak yang akan ku bawa?" Tanya pria itu lagi.

"Aku tidak memberinya nama. Kau saja yang memberinya nama." Balas wanita itu.

Sosok anak kecil itu terdiam sesaat, lalu melangkah kan kaki kecilnya berlari pergi meninggalkan tempat itu.

Plakk...

"Aarghh! Sakit tauu!" Pekik seorang anak kecil bertubuh kurus kering sambil mengusap kepala belakangnya.

"Ck dasar lemah! Dasar bocah bodoh!" Ucap anak kecil itu setelah memukul saudaranya.

"Jangan mengataiku bodoh! Kau yang bodoh! Mana ada seorang kakak memukul adiknya seperti ini? Sini gantian!" Balasnya tidak terima.

"Hahhh kau berani melawanku, tapi saat diganggu anak-anak lain kau diam saja. Dasar memang bodoh. Kalau tau lemah setidaknya jangan jadi bodoh!" Sahut kembali anak kecil itu menatap kesal saudaranya.

"HUWAAA BUNDAAA!" Pecah tangis bocah itu.

"Seharusnya kau saja yang pergi bukan aku! Kau hanya bocah lemah dan bodoh!" Pekiknya begitu mendengar adiknya menangis.

Mendengar teriakan yang sudah seperti gangguan itu, seorang wanita yang terlihat masih muda itu lantas melangkahkan kakinya kesal menuju asal suara itu.

"ADA APA LAGI INI?! KAU MEMUKUL SAUDARA MU LAGI HAH?" Teriak wanita itu naik pitam.

"KENAPA BUNDA SELALU MEMBELA NYA! BUNDA SELALU MEMARAHI KU! AKU BENCI DIA! SUATU SAAT AKU PASTI MEMBUNUH BOCAH LEMAH ITU!" Teriak anak kecil itu sambil menunjuk saudaranya.

PLAKKK...

*****

"Huft! Ingatan sialan!" Gumam Alpha tersadar dari lamunannya.

Alpha mendongakkan kepalanya ke atas dan sejenak memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama ia duduk di sebuah bangku taman yang gelap dengan hanya sebuah penerangan lampu jalan yang mulai redup, dan hanya suara hujan yang seakan terus bersenandung mengisi kesunyian itu.

Begitu banyak sekali pertanyaan yang sama sekali belum terjawab. Banyak sekali ingatan-ingatan yang tak seharusnya ada justru muncul bertumpuk-tumpuk secara bergantian. Ingatan yang seharusnya tak pernah muncul lagi, justru menjadi beban pikiran yang paling berat yang harus ia tanggung sendiri.

Alpha beranjak dari duduknya dan menghela nafas panjang seraya menguatkan hatinya yang perlahan goyah.

"Masih belum." Gumamnya.

"Setidaknya sampai balas dendamku selesai, aku akan beristirahat." Gumamnya dengan tatapan mata lelah.

Brakkk....

Tanpa ia sadari, seseorang menerjangnya dengan kuat hingga membuat Alpha tersungkur ke tanah dan membuyarkan lamunannya.

"Wahhh kemana perginya insting tajam mu itu sampai-sampai tidak menyadari keberadaan ku? Alpha." Ujar seorang pria dengan pakaian serba hitam.

Dhuagh...

Sekali lagi pria itu memukul wajah Alpha dengan sekuat tenaga.

"SAMPAI KAPAN KAU DIAM HAH?! JAWAB AKU DASAR BAJINGAN BRENGSEK!" Teriak pria itu geram melihat keterdiaman Alpha.

Dengan sigap Alpha segera membebaskan dirinya dari posisi tidak menguntungkan itu dan memasang kuda-kuda.

Tanpa menunggu kesiapan Alpha, pria tersebut langsung mengayunkan pukulan dan tendangan nya ke arah Alpha.

"SERANG AKU BAJINGAN! SAMPAI KAPAN KAU MENGHINDARI KU TERUS? Apa kini kau merasa ragu dan segan untuk membalas ku? Kau tidak segan membunuh rekan-rekanmu tapi kini kau bersikap seolah-olah berbaik hati dengan tidak bisa membalas serangan ku hah? AYO SERANG AKU BANGSAT! DASAR PENGHIANAT!" Ujar pria itu dengan tatapan penuh dendam sambil terus menyerang Alpha.

Berulang kali Alpha dengan sigap menghindari setiap serangan yang ditujukan padanya tanpa membalas serangan itu sekalipun. Alpha menatap lekat manik mata penuh amarah yang sangat dikenalnya itu.

"S-Sialan!"

Jleb!

"Aku sudah melakukan kesalahan waktu itu. Tapi kini aku tidak akan melakukan kesalahan lagi, aku akan memastikan untuk membunuhmu dengan tangan ku sendiri." Ujar 001 dengan tatapan mata penuh amarah.

"Aku bukan penghianat. Kau telah dibohongi." Ujar Alpha sambil memegangi perutnya yang terluka akibat tikaman dari 001.

"Kau pikir aku akan percaya?" Balas 001 sambil berlari membabi buta dan menyerang Alpha dengan bringas.

"Bukankah belakangan ini kalian dapat misi yang tak masuk akal?" Sahut Alpha sambil terus berusaha menjaga jarak dari 001.

Mendengar ucapan Alpha lantas 001 terkejut.

"Melihat keterdiaman mu itu, sepertinya yang ku katakan benar." Sambung Alpha.

"Bicaralah yang jelas." Tegas 001.

"Aku hanya ingin memperingatkan mu. Bukan aku yang seharusnya kau waspadai, tetapi Daniel." Ujar 001.

"Penghianat yang sebenarnya adalah orang yang paling dekat denganmu. Ingat lah perkataanku, 001." Sambung Alpha.

001 hanya terus terdiam mendengarkan perkataan dari Alpha.

"Hei. Kalau memang kehidupan ini yang kau pilih setelah menghianati Dandelions, maka buat hidupmu bahagia, sangat bahagia, agar aku merasa puas saat menghancurkan hidupmu nanti." Ujar 001 pada Alpha.

"Aku menantikannya." Jawab Alpha dengan sebuah seringai diwajahnya.

I'm the VILLAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang