46-Regina

97 16 3
                                    

Malam itu cantik. Bagi sebagian orang, langit malam dengan cahaya bulan dan percikan bintang terlihat cantik untuk dilihat. Tapi bagi mereka yang membenci kegelapan, secantik apapun langit malam akan terlihat menakutkan.

Tut.. Tut... Tut

Berulang kali gadis itu menghubungi seseorang melalui ponselnya. Berulang kali ia mencoba menghubungi nomor yang sama. Meski ia tau hal itu tidak berguna, tapi ia masih berharap.

Setiap nada sambung yang terdengar hanya menambah luka di hatinya. Air mata mengalir tanpa henti di pipinya, mencerminkan kesedihan yang mendalam. Hatinya terasa hancur, seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Ia menatap layar ponselnya yang kosong, berharap ada pesan atau panggilan masuk yang bisa menghapus kesepiannya. Namun, yang ada hanya keheningan yang menyakitkan. Ia terus menunggu, dengan hati yang penuh luka dan harapan yang semakin pudar.

Mendengar suara pintu terbuka, gadis itu menoleh ke arah sumber suara.

"Kau!" Ujar gadis itu sambil menghampiri seorang pemuda berusia pertengahan dua puluhan yang baru saja masuk ke ruangan itu.

"Mau apa kau kesini?!" Ujar gadis itu kesal.

"Aku akan terus terang saja. Berikan hak asuh anak itu padaku. Kau tidak akan bisa membesarkan mereka seorang diri, setidaknya aku membantu mu membesarkan salah seorang dari putra kita." Ujar pria itu.

"Tidak! Kau hanya mau mengambil keuntungan saja kan! Kalau kau benar-benar menyayangi anakmu bukankah seharusnya kau merawat mereka berdua? Tapi kau hanya berniat membawa salah satu dari mereka! Kenapa?! Apa karena salah satu dari mereka terlahir tidak normal? Jawab aku!" Ujar gadis itu kesal.

"Tidak seperti itu Regina." Ujar pria itu berusaha menenangkan kekasihnya.

"Sudahlah. Aku tidak perlu bantuanmu! Aku bisa membesarkan mereka seorang diri. Pergilah." Ujar gadis bernama Regina itu.

"Regina, dengarkan aku dulu." Ujar pria itu berusaha meyakinkan Regina.

"KU BILANG PERGI! PERGI!" Teriak Regina histeris sambil mendorong pria itu keluar.

Brak.

Regina menutup pintu dengan keras dan membuat dua bayi yang tertidur di ranjangnya itu menangis karena mendengar suara itu.

"DIAM! DIAM LAH!" Teriaknya sambil meneteskan air mata.

Ia meringkuk di sudut ruangan menangis dengan tersedu-sedu. Kedua bayi itu terus menangis memanggil ibunya, tapi gadis itu hanya terdiam dipojok ruangan.

Waktu berjalan seperti semestinya, beberapa saat telah berlalu, dan kini kedua bayi itu terdiam. Entah mereka lelah untuk menangis, atau sudah tak bernyawa lagi.

Untuk sesaat Regina tersadar. Ia segera berdiri dan beranjak dari posisinya. Ia segera berjalan ke arah kedua bayi yang tergeletak di ranjangnya itu.

"Apa yang ku lakukan. Bodoh kau Regina!" Pekiknya sambil meraih kedua bayi itu.

Dengan sabar ia mengasihi kedua bayi itu sambil duduk bersandar menatap kedua putranya lamat-lamat. Ia menimang-nimang kedua putranya itu hingga tertidur lelap.

Sejenak ia kembali tersadar. Ia teringat dengan perkataan pria yang bergelar kekasih sekaligus ayah dari kedua putranya itu. Ia menatap wajah putranya itu secara bergantian. Ia berusaha menenangkan dirinya, tapi entah kenapa emosinya seolah ingin meluap-luap.

"Kenapa? Sebenarnya apa yang dilihat pria itu dari mu, hah?! Aku tau dia sangat mendambakan seorang putra, tapi kenapa hanya kau yang disayang oleh pria brengsek itu?! Apa hanya karena kau terlahir dengan sehat sedangkan saudaramu tidak?! Dia bahkan meninggalkan ku hanya karena kau! Dia pikir setelah mendapatkan mu dia bisa meninggalkan ku seenaknya?! Apa dia pikir aku hanya penghasil bayi?! Tapi tak akan ku biarkan keinginan nya itu tercapai." Ujar Regina sambil menatap wajah bayi yang kini berada di lengan kirinya.

I'm the VILLAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang