47-Peter

86 14 8
                                    

Sepasang manik mata nampak membesar karena kegelapan. Di sudut sebuah ruangan yang gelap dan lembap, seorang anak kecil duduk meringkuk dengan lutut yang ditarik ke dada. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui celah-celah kecil di ventilasi, dan menciptakan bayangan yang menakutkan di sekelilingnya.

Ia terisak dalam tangisnya. Berulang kali ia berusaha memanggil ibunya. Hingga perlahan ia mulai lelah, dan kini yang dia lakukan hanya meringkuk di sudut ruangan menunggu tiba saat nya dia akan keluar lagi dari ruangan itu.

Mendengar suara pintu terbuka lantas anak itu segera berdiri dan berjalan perlahan ke arah pintu itu.

"Kau?!" Ujar bocah itu setelah melihat siapa orang dibalik pintu.

"Ayo keluarlah, aku sudah meminta izin bunda untuk mengeluarkan mu." Ujar Vin.

Walaupun ia merasa senang bisa keluar dari tempat itu, tapi di lubuk hati nya ia merasa kecewa. Bukan wajah saudaranya yang ia harapkan untuk dilihat ketika dia keluar dari tempat menyeramkan itu.

"Dimana bunda?" Tanya bocah itu.

"Bunda tidur. Ayo kita main keluar." Ajak Vin pada kakak nya itu.

"Aku tidak mau." Sahut bocah itu.

"Ayolah kak. Banyak anak-anak yang main di luar, ayo kita ikut main." Ujar Vin.

"Aku tidak mau. Kau pergi saja sendiri." Sahut bocah itu kesal.

"Aku tidak berani mengajak mereka bermain." Ujar Vin dengan wajah memelas.

Melihat hal itu lantas bocah itu menghela nafas kasar.

"Baiklah ayo." Jawab bocah itu sambil menunjukkan wajah malasnya.

Melihat hal itu, dengan segera Vin menggandeng tangan kakak nya itu dan pergi keluar bersama. Terlihat beberapa anak seumuran mereka tengah bermain bersama. Vin berjalan perlahan di belakang kakaknya, tangannya menggenggam erat jari-jari kakaknya itu. Matanya sesekali melirik ke arah anak-anak itu yang sedang bermain, namun ia terlalu malu untuk mendekat dan mengajak mereka bermain bersama.

Setiap kali kakaknya mencoba mendorongnya maju, ia hanya menggeleng pelan dan semakin erat menggenggam tangan kakaknya. Rasa takut dan canggung bercampur menjadi satu, membuatnya merasa lebih nyaman berada di dekat kakaknya yang selalu melindunginya.

"Hai. Boleh kita main bersama?" Tanya bocah itu pada gerombolan anak yang tengah asik dengan bola mereka.

"Ya tentu saja, kenalkan aku Ryan. Siapa kau?" Tanya salah satu anak itu.

"A-Aku Vin." Sahut Vin sambil tersenyum canggung.

"Lalu kau? Siapa namamu?" Tanya Ryan sambil melihat anak di depannya itu.

"Nama ku sialan." Balas bocah itu.

"Hei kenapa kau mengumpat padaku?!" Sahut bocah itu kesal.

"Tidak, tidak seperti itu. Namaku memang sialan. Ibuku memanggil ku begitu. Jadi kalian juga bisa memanggilku begitu." Balas bocah itu.

Mendengar hal itu lantas anak-anak itu terdiam dan hanya saling melihat.

"HAHAHA" Tawa mereka secara serentak.

"Dia bilang namanya sialan. Hahahaha." Ujar anak lain sambil menertawakan Vin dan kakaknya itu.

Duagh.

Sebuah bola dengan kuat mengarah ke arah Vin dan membuatnya terjatuh.

"Pergi sana bocah-bocah aneh! Kami tidak mau bermain dengan kalian." Ujar Ryan sambil mengambil bolanya kembali.

I'm the VILLAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang