Jasad yang diseret di depan rumah

22 3 0
                                    

Malam ini juga, aku dan pamela mendatangi rumah sakit.

Di sepanjang perjalanan, tidak berhenti merutuk.

"Harusnya aku tidak menggantungkan harapanku pada Tuhan. Harusnya aku tahu, aku akan mendapat rasa kecewa untuk kesekian kalinya."

Menggumam dalam sedih. Pandanganku tidak lagi terarah pada jalanan, menunduk ke bawah. Bagaimana memberitahu dunia, bahwa aku yang anak yatim piatu ini, kecewa pada sang pencipta.

Kenapa aku tidak dikasihani? Kenapa doaku tidak didengar? Benar-benar malang. Aku tidak bisa mengadu pada kedua orang tuaku. Aku juga tidak bisa mengadu pada Tuhan.

"Jangan selalu menyalahkan Tuhan. Aku takut tuhan marah padamu." Pamela mendengar gumaman ku.

"Pamela... Kamu mendatangkan Bu Nilam sebagai pembantu. Tapi aku menerimanya sebagai keluarga. Bahkan menanggapnya sebagai pengganti ibuku."

Menarik napas dalam, mencoba meredakan sesak di dada.

Tidakkah tuhan kasihan melihatku yang selalu menangis?

***

Langkah kami terhenti, di depan pintu kamar jenazah. Mendengar tangisan pilu, dari anak Bu Nilam.

Aku yang mengenal Bu Nilam beberapa hari saja, merasakan sakit yang teramat sangat mendengar kabar duka ini. Apalagi anaknya, yang menghabiskan waktu lebih lama.

"Aku tahu rasanya..." Ku peluk erat tubuh gadis yang gemetar itu.

**

Jenazah Bu Nilam, dibawa pulang ke kampung halaman. Aku mempergunakan uang pemberian Jimmy, untuk biaya rumah sakit dan biaya transportasi.

Tidak lupa mendatangi gadis bernama Dira itu. Menyelipkan sejumlah uang untuknya.

"Apa ini?" Dia menatap amplop tebal yang ada di tangan.

"Bukan apa-apa... Ini bukan sebuah bayaran atas jasa ibumu. Karena aku rasa, jasa ibumu tidak akan terbalas. Anggap ini uang duka."

"Ibuku bekerja hanya beberapa hari. Ambil kembali uang ini. Terima kasih, telah membantu biaya pengobatan ibuku." Dia menyodorkan kembali amplop itu.

"Tolong jangan menolak!"

Dia menatap amplop itu. Bulir bening jatuh di atas amplop berwarna coklat.

Ku peluk hangat tubuhnya. Menyampaikan permintaan maaf. Karena semua ini terjadi saat Bu Nilam bekerja denganku.

"Maaf" Melepas pelukan saat dia hendak pergi.

Melambaikan tangan pada gadis yang nasibnya sama denganku.

Bu Nilam...

Terimakasih atas waktu dan momen hangat yang meskipun berjalan singkat. Terimakasih telah menggantikan sosok ibu, walau hanya dalam beberapa saat saja.

Aku akan merindukan, sentuhan tangan yang hangat membelai rambutku hingga tertidur. Tidak akan lupa, bisikan lembut saat Bu Nilam membacakan dongeng untukku.

Selamat jalan Bu Nilam... Selamat jalan orang baik.

Lambaian terakhir untuk Bu Nilam yang akan di kebumikan di kampung halamannya.

***

Pamela datang dari arah belakang, kedua tangannya mendekap tubuhku. Dia menempelkan dagunya di bahuku.

"Aku lelah memintamu untuk bersabar," bisiknya.

Ya, setiap aku mengalami hal buruk didalam hidupku, pamela selalu memintaku untuk bersabar.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang