Ring tinju

3 1 1
                                    

"Seminggu lagi ulang tahunku...." Ucapku berdiri di depan jendela. Menatap tumpukan salju, yang menggunung di taman.

"Apa kamu menginginkan sesuatu, sebagai hadiah? Apapun itu aku akan berusaha mendapatkannya." Bian dengan tubuh besarnya berdiri di sampingku, ikut menatap keluar taman.

"Aku tidak menginginkan hadiah berupa barang. Jika aku boleh meminta pada Tuhan, aku ingin doaku dikabulkan. Ingin merayakan ulang tahun bersama orang-orang yang aku sayangi di rumahku. Meski tahun ini aku merayakan tanpa adikku. Tidak masalah. Aku ingin mendengar suaranya, dalam rekaman buatan Jimmy."

Bian menoleh, raut wajahnya terlihat sedih. Aku tahu, permintaanku itu sulit untuk dikabulkan.

Jangankan untuk kembali ke negeri sendiri, keluar rumah pun aku diincar oleh Ronald.

Bian tidak mengeluarkan suara. Karena dia tahu, permintaanku itu sulit dikabulkan dalam waktu dekat. Apalagi dalam waktu seminggu.

Aku merapikan selimut yang membalut tubuhku. Berjalan dan menuju pintu dan membukanya. Bian mengikutiku dari belakang.

Sepertinya mengeluh tidak ada gunanya. Jalan yang ada di depan harus dihadapi. May itu jalanan berkerikil, jalanan penuh pecahan kaca, bahkan jalanan yang telah dipasangi bom rakitan.

"Fiuuuuuhhh!"

Aku menjatuhkan tubuhku di atas tumpukan salju. Merasakan dinginnya butiran es menembus pakaianku.

Merentangkan tangan, untuk merasakan butiran halus itu. Membiarkan butiran salju berjatuhan dan menimpa wajah, sedangkan Bian berdiri di hadapanku.

"Aku dan adikku beberapa kali diajak liburan ke luar negeri. Tapi kami datang di saat musim panas. Tidak sekalipun adikku melihat tumpukan salju. Sayang sekali dia pergi lebih dulu. Seandainya dia disini, mungkin dia akan kegirangan dengan membuat bola salju dan melemparkannya ke wajahku."

Bian yang tadinya berdiri kini berlutut di sampingku. Tangan dinginnya mengenyahkan butiran salju yang berjatuhan di wajahku.

"Ceritakan apa saja.... Aku akan mendengarkannya, bayi..."

"Disaat aku merayakan ulang tahun pada usia ke-22, aku harus kehilangan orang tuaku. Sedih rasanya, tapi aku tidak terlalu merasa kesepian, karena ada adikku yang berisik, yang menemaniku merayakan pergantian umur. Dia akan membuat kegaduhan di dapur, menumpahkan tepung di meja pantry, hanya untuk membuat kue gagal tanpa rasa. Mendatangi kamar dengan suara berisiknya, untuk membangunkan ku pada pukul 12 malam. Menarik selimut dengan kasar, lalu melemparkan telur ke wajahku yang tengah tertidur lelap." Aku menceritakan momen kebersamaan ku dengan adikku.

Bian diam terpaku menatapku yang tengah bercerita.

"Niana, orang tua kita memang sudah tidak ada, tapi kamu masih punya aku. Kita akan sukses bersama, dan membanggakan orang tua kita di alam sana. Kita akan bersenang-senang dengan uang yang banyak, dan akan menua bersama. Meskipun kita sudah berkeluarga, rumah kita akan tetap berdampingan hanya dalam jarak 10 langkah. -- harapan itu yang diucapkan adikku sebelum aku meniup lilin. Tapi harapan itu tidak tercapai, Bian. Adikku berbohong. Dia pergi lebih dulu." Berusaha keras untuk tidak menangis, tapi suaraku bergetar saat mengucapkan kalimat itu.

Wajah Bian berubah setelah aku menceritakan momen kebersamaan ku dengan adikku. Aku harus mendengar napasnya yang tidak beraturan.

"Kenapa?" Tanyaku.

Dia menggeleng.

"Aku merasa masuk ke dalam cerita dan ikut larut. Benar-benar menyedihkan..." Ucapnya memalingkan wajah.

"Bian.... Tadinya aku ingin membalaskan dendam, tapi nyatanya sekarang, aku yang menjadi incaran. Bodohnya aku, selalu bertindak seperti sosok perempuan kuat yang ada di dalam novel favoritku. Jelas aku dengan dia berbeda. Mungkin jika kisahku dituangkan dalam novel, Aku adalah sosok yang paling dibenci, karena selalu bertindak ceroboh," ucapku menatap wajahnya.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang