tenggelam di dasar lautan

3 1 0
                                    

Bergelantungan di bawah terik matahari. Kurasakan sinar matahari mulai menyengat. Peluh membasahi wajah dan juga tubuh. Bian masih bertahan, dengan kedua tangan memegangi bebatuan.

Dia selalu bertanya, bagaimana keadaanku. Seharusnya, dia memikirkan keadaannya sekarang.

Aku rasa aku tidak kuat untuk bergelantungan lebih lama lagi. Menatap deburan ombak yang ada di bawah sana.

"Niana, biasakah kamu meraih tanganku?" Dia kembali mengulurkan sebelah tangannya.

Aku menoleh ke atas, menyipitkan mata saat matahari menyilaukan penglihatanku. Hanya dapat menggeleng lemah, menatap sebelah tangan Bian yang terulur.

Setiap sendi yang ada di tubuhku terasa sakit. Aku sudah tidak tahan lagi, bergelantungan dengan berpegangan pada pergelangan kaki Bian.

"Bian... Aku tidak kuat lagi," ucapku dengan nada lemah.

"Aku takut berada di dalam air, Aku tidak bisa berenang, tapi aku rasa, mati tenggelam tidak terlalu buruk." Aku pasrah sekarang.

Mungkin tidak senyaman mati dalam damai saat tertidur lelap. Setidaknya aku tidak menjadi santapan hewan, atau berakhir di dalam mesin penggilingan daging.

Sejauh ini, aku benar-benar diuji. Seolah-olah tidak diizinkan bernapas dan beristirahat sejenak. Kurasa Tuhan memintaku untuk segera menyerah. Tidak ada  yang bisa diperjuangkan. Aku kalah telak.

"Hei, Niana.... Kamu tidak boleh bicara begitu. Cerita kita belum usai. Tidak akan kubiarkan kamu mati sia-sia." Meski Bian menahan sakit, dia berusaha menenangkanku.

Melonggarkan pegangan dari kaki Bian. Aku menantang matahari, melihat Bian di atas sana.

"Terima kasih ya Bian, karena selalu ada dan membantu setiap masalahku sejauh ini."

"Kamu bicara apa Niana.... Tolong bertahanlah, raih tanganku." Bian masih mengulurkan tangannya.

Aku melepas sebelah tanganku, hanya berpegangan dengan satu tangan pada pergelangan kaki. Tidak berniat untuk meraih uluran pada tangannya.

Aku mendengar deburan ombak di bawah sana. Namun tidak berani untuk melihat. Menarik napas dalam-dalam berkali-kali. Bian seolah tahu apa yang hendak aku lakukan.

"Raih tanganku jika hendak melompat ke bawah sana. Agar aku tidak kehilangan, dan dapat segera menyelamatkanmu."

Keringat bercampur darah yang keluar dari tangannya menetes ke wajahku yang mendongak Ke atas. Aku mengabaikan ucapannya.

"Bantuan sampai dalam 30 menit lagi... Bertahanlah Niana!" Ucap dokter Bastian dengan gugup diatas sana.

30 menit lagi ? Dalam 5 menit lagi pun aku tidak bisa bertahan. Kalau Tuhan memintaku menyerah... aku akan menyerah!

Teriakan lantang keluar dari mulut dokter Bastian dan juga Bian. Disaat aku melepaskan peganganku dari kaki Bian.

Melayang di udara, merasakan tubuh seringan kapas. Napas tertahan, menatap bian dan juga dokter Bastian. Sebelum menyentuh air, aku dapat melihat Bian melepaskan pegangannya.

Sepersekian detik, sebelum punggungku menyentuh air.

Masuk lebih ke dalam dasar lautan. Aku memejamkan mata, membayangkan sebentar lagi malaikat maut menjemputku.

Tidak ada upaya untuk berenang. Pasrah saat tubuhku semakin dalam masuk ke dasar lautan.

Ah, tidak perlu takut Niana... Bukankah kamu ingin bertemu dengan semua keluargamu? Akan ada sentuhan hangat yang menanti. Akan ada kecupan di wajah dari kedua orang tuamu. Serta pelukan dari Talitha. Kamu tidak perlu lagi berlari dan berlari. Karena disana akan hanya ada kedamaian.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang