Tangan besar itu menghalangi mataku

18 3 1
                                    

Bukan menuruti mauku, Bian mengangkatku dan membaringkanku di ranjang. Kembali menyelimuti tubuhku.

Matanya liat menatap ke sekeliling. Seperti mencari sesuatu.

"Niana dimana gantungan infus itu?" Tanyanya.

Aku hanya menunjuk ke arah tirai. Karena sebelumnya aku menyembunyikan gantungan itu di sana.

Dia mengabaikan darah yang keluar dari hidungnya, berjalan cepat menuju tirai. Menyibak tirai dan membawa gantungan infus itu ke tepi ranjang.

Dia memegangi kepalanya, saat melihat darahku naik ke selang infus. Dengan panik dia meraih ponsel lalu menghubungi seseorang.

"Bisakah segera datang kemari? Darah di tangan gadis itu naik ke selang infus. Aku akan menunggu dalam waktu 5 menit. Jangan sampai darahnya habis dan dia mati."

Pria itu mondar mandir di hadapanku. Suaranya meninggi saat berbicara lewat telepon.

Hening sejenak.

"TIDAK BISA MENUNGGU LAMA! AKU BUTUH PERTOLONGAN SECEPATNYA!" Dia membentak lawan bicaranya.

Dia benar-benar berlebihan. Aku rasa tidak akan mati, hanya karena darah naik melewati separuh selang infus. Aku pernah mengalami ini sebelumnya, hanya perlu penanganan kecil untuk menormalkan aliran cairam infus.

Kenapa dia seperti orang yang sedang depresi. Orang yang takut akan kehilangan. Aku bukan siapa-siapanya. Bukan saudara, bukan pula kekasihnya.

"Apa ada yang sakit?" Tanyanya seraya mendekat.

Hanya menggelengkan kepala untuk menjawab.

Sebentar lagi pertolongan akan segera datang. Bertahanlah!"

"Kenapa tidak memulangkan ku ke rumah? Berada di dekatmu aku selalu merasa ketakutan," ucapku padanya yang sedang duduk di tepi ranjang.

"Pulang? Apa kamu sudah siap menemui ajal? Apa kamu bisa berlari dan melindungi diri jika ada yang menyerang, saat berada di rumah sendirian? Kamu pikir Ronald tidak tahu, bahwa kamu yang menyerang anaknya? Membuat Leo kehilangan sebelah matanya. Mungkin kamu pikir, bahwa kamu bisa mengalahkan semua. Tidak segampang itu Niana. Kamu hanya bisa mengalahkan orang-orang yang sebaya denganmu. Kamu tidak akan bisa mengalahkan Ronald. Kamu tidak akan bisa mengalahkan pria berkuasa itu! TOLONG MENGERTILAH!" Suaranya mulai meninggi.

"Aku tidak masalah jika mati sendirian di dalam kamarku. Asal tidak mari dalam keadaan mengenaskan. Di sini... Orang-orang itu selalu menghampiri. BAHKAN KAMU TIDAK BISA MENAHAN RONALD UNRUK TIDAK MASUK KE KAMAR. AKU HARUS LARI BERSEMBUNYI. JIKA TADI AKU MASIH TERTIDUR, RONALD BISA SAJA MERETAKKAN KEPALAKU." Aku berteriak bicara padanya.

Dia menghela napas dalam.

"Niana... Aku bisa bayangkan bagaimana kamu akan keluar dari rumahmu, jika seseorang membaktikan saklar lampu di samping rumah. Aku bisa bayangkan anak buah Ronald menghabisimu dengan gampangnya. Maaf atas kelalaianku tadi. Maafkan aku Niana..."

Aku kehabisan kata-kata.

Bel di luar pintu berbunyi. Bian yang ada di sampingku, segera bangkit.

"AKU INGIN PERAWAT KEMARIN YANG DATANG KEMARI! SURUH DIA KEMARI! AKU TIDAK MENERIMA PERAWAT LAIN!" Terdengar suara bentakan lalu bantingan pintu.

Pria itu benar-benar arogan.

Harus menunggu sekitar 20 menit, untuk menanti perawat yang menangani ku kemarin.

"Jangan panik. Hanya perlu penanganan kecil." Ucap perawat yang baru datang.

Perawat itu merubah tetesan air infus jadi lebih cepat. Darah yan tadinya naik, kini berangsur turun.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang