ciuman dan kenangan sebelum berpisah

4 1 0
                                    

Pakaian yang tadinya basah, kini kering di badan. Aku tidak tahu, apakah dia sempat minum atau tidak. Aku harus melihat Bian menjauh dari jendela kaca menuju taman samping. Dia kembali tidur di luar untuk malam ini.

"Hussss!" Bastian melemparkan anak kucing yang tidur di atas perutku.

"Tidurlah Niana... Jika keadaanmu tidak kunjung membaik, aku akan membawamu ke rumah sakit." Dokter Bastian yang tadinya berlutut, bangkit dan duduk di sofa.

Sungguh, aku tidak menginginkannya ada disini.

Aku memejamkan mata, menghindar bertemu tatap dengan dokter Bastian. Kuharap dia yang lebih dulu tertidur. Aku tidak bisa membiarkan Bian tidur tanpa selimut di luar sana.

Tidak nyaman dengan posisi seperti ini. Tidur diperhatikan orang lain. Aku harus mengatur napas dan berusaha rileks. Tapi aku takut tertidur lelap, dan lupa akan Bian.

Sudah menunggu cukup lama. Aku memberanikan diri membuka sebelah mata. Mengintip untuk memastikan apakah dokter Bastian sudah tertidur atau belum.

Namun sial, saat membuka mata, aku harus melihat dokter Bastian duduk dengan menatap ke arahku.

"Kamu belum tidur juga? Apa kamu merasa kesakitan?" Tanyanya.

Aku menggeleng.

"Aku hanya tidak bisa tidur, jika diperhatikan seperti itu."

Dia membenarkan posisi duduknya. Terlihat gugup.

"Aku hanya memastikan bahwa kamu masih bernapas. Tapi jika itu membuatmu tidak bisa tidur, aku akan memalingkan wajah...."

Aku tidak hanya ingin dia memalingkan wajah. Aku ingin dia tidur lebih dulu, atau pergi dari rumahku. Tapi jika memintanya untuk pulang, tentu itu akan menyinggung perasaannya.

Entah berapa lama lagi aku harus berpura-pura tidur. Sedangkan dokter Bastian masih memainkan ponselnya. Aku yakin dia tidak benar-benar memalingkan wajah.

Ah, aku harus menahan kantuk yang menyerang. Tidak boleh tidur Niana...tidak boleh. Tanganku yang ada di bawah selimut, berusaha mencubit sebelah tangan lainnya. Hal ini aku lakukan, agar aku tetap terbangun.

Tapi rasanya itu tidak membuahkan hasil. Mataku semakin berat. Bahkan sekarang sedikit untuk dibuka. Selimut yang hangat membalut tubuh, membuatku nyaman. Mengantarkanku masuk ke dalam alam bawah sadar.

Tapi... Aku masih memikirkan Bian. Dia kedinginan di luar sana.

Ah, aku menyerah...

Aku tidak dapat menahan kantuk yang menyerang. Maafkan aku Bian, kuharap Tuhan memelukmu di luar sana.

***

Hening...

Hanya terdengar suara jarum jam dinding yang berdetak. Aku melawan rasa kantuk, dan membuka mata.

Melihat dokter Bastian telah merebahkan kepalanya di sofa. Dia tertidur dengan melipat tangan di dada.

Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi.

Ya tuhan.....

Mengenyahkan beberapa helai selimut yang membalut tubuhku. Berjalan perlahan, menuju meja pantry. Meraih satu botol minuman, dan kotak p3k. Tidak lupa menyeret selimut.

Berhati-hati melintas di hadapan dokter Bastian, jangan sampai dia terbangun. Tidak ingin dia menyadari bahwa Bian ada di samping rumahku.

Keluar dari rumah dan berjalan menuju taman samping.

Aku pikir dia tidur, ternyata dia masih bangun dengan menyadarkan kepala ke tembok rumahku.

"Maafkan aku..." Gumamku disampingnya.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang