Mereka menguliti temanku

12 3 1
                                    

Tidak lagi mendengar suara Bian. Segera memutuskan panggilan,  meskipun dia terdengar marah sekaligus panik. Aku tidak dapat menantinya, karena aku bisa kehilangan temanku, Pamela.

Berlari menghindar, saat melihat sorot lampu mobil dari kejauhan. Bersembunyi di tempat gelap, di antara deretan tanaman hias yang ada di taman.

"Gadis itu di lantai berapa?" Seseorang turun dari mobil. Pria itu Ronald.

"Lantai 4 pak."

Tiga laki-laki segera masuk ke dalam rumah berukuran besar itu.

Aku mendongakkan kepala, menatap rumah besar menjulang tinggi. Menghitung lantai rumah.

Bian bilang, petarung harus menghilangkan rasa takut. Tapi jujur saja, aku tidak bisa menghilangkan rasa takutku. Aku takut menginjakkan kaki masuk ke dalam rumah Ronald. Tapi aku lebih takut lagi, kehilangan Pamela.

Keluar dari tempat persembunyian. Berlari mengelilingi rumah. Menyembunyikan wajah di balik topeng.

Berhati-hati, selalu menatap ke sekeliling, memastikan tidak ada yang menyadari keberadaanku. Mencoba mencari keberadaan saklar lampu rumah besar ini.

Seperti yang mereka lakukan setiap kali menyerangku. Mereka pasti mematikan penerbangan rumahku.

Sial!

Aku menemukan saklar lampu, dengan jarak yang tinggi. Aku tidak dapat untuk menyentuh apalagi mematikan penerimaan yang ada.

Mundur beberapa langkah. Mengeluarkan anak panah lalu membidik saklar. Aku melakukannya berkali-kali. Tindakanku hanya mampu merusak pelindung saklar.

"Siapa disana?" Langkah kaki seseorang mendekat. Cahaya senter berpendar.

Bergegas merunduk, menghindari pendaran cahaya senter.

"Hello?" Pria itu mengarahkan senter ke segala penjuru.

Hanya bisa berdiam diri, karena jika bergerak, kurasa kerikil yang aku injak akan menimbulkan suara.

Pria itu masih berdiri di sana. Bahkan sekarang, langkah kakinya mendekat ke arahku.

"Hello?"

Tuk! Tuk! Tuk!

Langkahnya semakin mendekati tanaman bonsai yang berjajar rapi di hadapanku. Aku dapat melihat bayangan nya yang semakin dekat.

Lima langkah lagi, dia bisa melihat keberadaanku yang menunduk di deretan bonsai.

Dengan perlahan dan hati-hati, meraih anak panah yang ada di ranselku. Menghitung langkah pria itu dalam hati.

1... 2... 3...

Aku berdiri, di saat pria itu hanya memiliki jarak 2 meter di hadapanku.

Pria itu dengan sigap meraih senjata yang ada di pinggang, namun belum sempat senjata itu terangkat, aku melepaskan bidikan. Bidikan yang mengenai mulutnya.

Bidikan dalam jarak dekat membuat busur panah menembus tengkoraknya. Tubuh besar itu terhuyung ke belakang, dan jatuh. Aku harus mendengar suara berisik dari mulutnya. Suara seperti hewan yang disembelih.

Dia masih hidup, tapi aku yakin dalam hitungan menit, dia akan segera mati. Ah tidak sampai 1 menit, dadanya berhenti bergerak. Suara berisik itu juga terhenti. Pria itu tewas dengan mata terbuka.

Aku menyeka keringat yang membanjiri wajahku. Terpaku melihat tubuh pria yang terbaring di tanah. Bukan inginku melenyapkan siapa saja yang mendekat, aku hanya ingin melindungi diri.

Aku menatap ke sekitar, memastikan tidak ada anak buah Ronald yang lainnya datang. Setelah semua aman, aku mendekati jasad pria yang terbaring.

Beberapa waktu terakhir, sering kali melihat pemandangan yang mengerikan dan menjijikkan seperti ini. Tapi rasa takut itu masih ada.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang