isi perut mengintip dari perut yang terluka

33 4 0
                                    

Ghea menarik tangannya yang patah dari sela pintu.kesempatan itu aku gunakan untuk menutup pintu dan menguncinya.

Tidak ingin mati kehabisan darah, aku merangkak menuju ranjang. Meraih ponselku yang ada di sana, berniat untuk meminta bantuan.

Belum hilang gemetar di tubuhku, aku menekan angka acak untuk memanggil petugas apartemen yang ada dibawah.

Tidak sabar menunggu, aku menempelkan ponsel ke telingaku.

Kulihat tidak hanya kaki yang penuh darah, tapi sekarang pakaian dan tanganku penuh dengan cairan kental ini.

Napasku mengebu,dadaku turun naik mengikuti nada sambung yang terdengar di telinga.

"Ayolah angkat panggilanku."

Mengulang beberapa kali, Samapi akhirnya pada panggilan ketiga,teleponku diangkat.

"Halo Bu Niana, kamar nomer 15. Ada yang perlu dibantu?" Tanya petugas resepsionis.

"Tolong ! Seorang buronan menyelinap masuk ke dalam apartemenku. Dia menyerangku. Aku dalam keadaan terluka sekarang." Tanpa mengatur napas, aku mengucapkan kalimat itu.

"Baiklah, Bu niana. Saya akan mengirim bantuan ke lantai atas. Pastikan diri anda dalam ruangan yang tidak dapat dijangkau dan dimasuki oleh penyusup itu," ucap petugas resepsionis memastikan bahwa bantuan akan segera datang.

Panggilan pun ditutup.

Suasana yang tadinya hening sesaat, kini kembali mencekam ketukan pelan terdengar di pintu.

Aku yang bersimpuh di lantai menutupi telingaku. Setiap ketukan,membuat jantungku berdebar lebih kencang.

Mengigil membuat gigiku gemeretak. Buku romaku berdiri, aku takut Ghea semakin nekat. Dia bisa saja menghantam pintu kamar hinggal terbuka,jika dia mau.

Tidak punya tenaga untuk melangkah ke lemari di sudur ruangan aku melepas kaos yang aku kenakan, dan hanya menyisakan tanktop berwarna hitam. Segera membalut kakiku yang berdarah dengan kaos itu. Mencegah agar darah berhenti mengalir.

TOK !.. TOK !... TOK !...

ketukan yang sangat pelan dan sedikit ada jeda.

"Nak....tolong buka pintunya."

Suara lemah Bu Nilam terdengar di luar sana.

Entah kenapa aku malah takut mendengar suara Bu Nilam, Aku takut di belakang Bu Nilam ada Ghea yang menantikanku untuk membukakan pintu.

Untuk beberapa saat aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Hanya terdiam mendengar rintihan Bu Nilam di luar sana.

"Tolong ! Nak..." Meski sangat pelan,suara itu masih mengerang minta tolong.

Aku merangkak menuju pisau yang sebelumnya terlempar ke dalam kemarin. Meraih pisau itu dan menggenggamnya dengan kuat.lalu mendekat ke arah pintu.

"Kenapa perempuan itu bisa masuk ke apartemen?" Tanyaku di balik pintu.

Hening

Dalam jarak dekat, aku mendengar suara napas yang berat.

"Dia....dia, sudah pergi." Bu Nilam kembali mengeluarkan suara pelan.

Mash dalam keadaan bersimpuh di lantai,Aku bimbang mengambil keputusan antara membukakan pintu, atau tetap diam di dalam kamar ini menunggu bantuan datang.

Lalu bagaimana dengan Bu Nilam? Apa dia ikut terluka? Atau,dia sekarang berada dalam tekanan Ghea yang bisa saja masihh berada di sampingnya.

"Benarkah dia sudah pergi?"

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang