perempuan yang menyelinap masuk

22 2 0
                                    

Aku tidak menangis saat mendapatkan banyak luka di tubuhku. Namun satu kalimat singkat yang melukai, mampu membuat hatiku remuk.

Tajamnya mulut daripada senjata. Lukanya sulit diobati.

"Hai sayang... bagaimana kabarmu hari ini?"

Rekaman suara keluargaku kembali berputar. Rekaman yang telah diatur oleh Jimmy setiap pukul 6 sore.

"Buruk sekali mama... sangat buruk!" Tubuhku berguncang saat menjawab rekaman suara itu.

Jeda 5 menit rekaman lainnya juga ikut bersuara. Tapi untuk kali ini aku tidak lagi menjawab semua pertanyaan yang dilayangkan padaku.

Aku menangis seseuhan di sofa ruang tamu, memeluk lutut dan merebahkan kepala. Tubuhku berguncang dibuatnya. Aku hanya mendengarkan suara keluargaku bersahutan. Biasanya, aku akan menjawab walaupun dalam keadaan menangis. Tapi tidak untuk hari ini.

Pintuku masih berguncang. Pria itu masih berusaha untuk masuk. Aku melihat bayangannya yang bersandar di jendela kaca.

"Seorang gadis pernah menangis dihadapanku, mengatakan bahwa dia sangat menyayangi kakaknya. Dia tidak ingin kakaknya bersedih, dan merasa sendirian. Sekarang... aku harus melihat itu semua dengan mara kepalaku sendiri. Apa yang dikhawatirkan gadis itu terjadi. Seandainya dia tidak pergi, mungkin dia akan memelukmu sekarang."

Suara pria itu bergetar, seperti seperti menahan tangis.

"Aku berjanji akan membuatmu berhenti menangis... izinkan aku masuk beberapa menit saja."

Dia pikir dia siapa? Apa dia pikir dia Tuhan? Yang bisa membolak-balikkan hati, untuk menghentikan rasa sedih? Kurasa Tuhan saja tidak bisa menghentikan rasa sedihku.

Harus kuat Niana... kamu bisa bertahan setelah semua keluargamu diambil Tuhan. Kenapa bersedih, saat seorang ibu meminta kamu menjauhi anaknya.

Harus kuat Niana... tidak boleh bergantung pada orang lain. Harus bisa berdiri dengan kaki sendiri. Seperti yang diucapkan oleh orang tua Jimmy.

Berusaha menyemangati diriku sendiri.

Malam semakin larut. Rekaman seluruh keluargaku, telah berhenti. Hanya terdengar suara Bian yang memohon untuk bisa masuk. Aku mengabaikan pria itu.

"Izinkan aku masuk... memelukmu sebentar saja. Menghentikan tangisan itu. Setelahnya aku akan keluar lagi. Aku akan tidur di samping rumah," ucapnya memohon.

Aku yang tengah memeluk lutut, bangkit dan berdiri. Mengusap air mata sebelum menghampiri pria yang berdiri depan jendela kaca.

"Pulanglah... Aku tidak suka dikasihani. Biarkan aku sendiri. Mungkin hari ini aku menangis, tapi ku harap besok, tidak akan ada air mata lagi yang keluar. Aku hanya belum terbiasa. Belum terbiasa disakiti oleh tutur kata..." Bergetar tubuhku saat mengucapkan kalimat itu. Berusaha menguatkan diri sendiri.

Pria itu menempelkan tangannya di kaca. Matanya menatap penuh rasa iba. Aku benci pemandangan seperti itu.

"Aku meninggalkan kesan buruk. Kamu selalu takut padaku. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tidak bersedih, tidak terluka," ucapnya.

"Bukan kewajibanmu menjagaku. Tidak ada orang yang bisa diandalkan di dunia ini selain diri sendiri. Bahkan aku tidak bisa mengandalkan keluargaku. Mereka semua meninggalkanku. Membiarkan aku hidup sendirian." Dadaku turun naik mengucapkan kalimat itu. Benar-benar putus asa.

semakin berusaha menahan tangis, semakin deras air mata itu jatuh membasahi pipi.

Bian mengusap jendela kaca yang ada di hadapanku. Seolah-olah dia tengah mengusap air mata yang jatuh di pipi.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang