FUUUUUUH FUUUUUUH FUUUUUUH

26 3 0
                                    

"Gigi yang terlepas, serta lidah yang terpotong. Benar-benar sadis. Pembunuhnya seperti psikopat. Tidak langsung menghabisi nyawa, tapi memilih melakukan penyiksaan sebelum menghilangkan nyawa korban."

Dokter Bastian memberi tanggapan atas penjelasanku sebelumnya.

"Jika semua bukti telah ditemukan, lalu pembunuh mengakui kesalahannya. Mungkin aku tidak akan berani untuk melihat reka ulang, bagaimana mereka menghabisi nyawa adikku."

"Ada dua kemungkinan, saat gigi itu terlepas dari sarangnya..." Kalimat dokter Bastian terhenti, dia menatapku sesaat.

Aku menelan ludah. Jujur saja aku takut mendengar penjelasan yang akan keluar dari mulutnya.

"Yang pertama... Pembunuh itu sengaja mencabut satu persatu gigi Talitha. Dan dugaan kedua..." Kalimatnya kembali terjeda.

Dokter Bastian seperti memastikan bahwa aku akan baik-baik saja setelah mendengar penjelasannya.

Menarik napas dalam dan menghembuskan secara perlahan. Berusaha untuk terlihat tenang, meskipun tidak dipungkiri tubuhku sedikit gemetar.

"Apa kamu baik-baik saja?" Tanyanya.

"Lalu dugaan kedua apa?" Aku balik bertanya.

Aku meremas jari jemariku. Rasa takut sekaligus rasa penasaran menyatu.

"Dugaan kedua, penyebab gigi terlepas adalah... Pembunuh itu bisa saja memasukkan sebuah benda keras ke dalam mulut, lalu memukul kepala bagian atas. Pukulan yang kuat, membuat rahang mengapit benda itu, lalu membuat gigi itu terlepas dengan sendirinya."

Kakiku terasa lemas mendengar penjelasan itu. Dengan kedua benar-benar membuat dadaku sesak. Ngilu membayangkan bagaimana adikku tersayang, tersiksa menjelang ajalnya.

Ah.. tidak tahan berdiri lama. Tubuhku terhubung ke belakang. Namun secepat kilat, tangan dokter Bastian menyambar lenganku.

"Maafkan aku... Seharusnya aku tidak menjelaskan secara rinci dugaan-dugaan yang belum tentu valid itu." Dokter Bastian membawaku meninggalkan kamar mandi.

Aku menghempaskan tubuh di sofa ruang tamu. Memegangi kepala yang tiba-tiba terasa pusing. Merasa ngilu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Penjelasan dokter Bastian masih berputar di otakku.

"Tapi itu hanya dugaanku saja. Mungkin ada kemungkinan lain." Dokter Bastian mencoba menenangkan aku yang tampak gelisah.

"Kemungkinan kecil apa? Apapun itu, yang menyebabkan semua gigi terlepas, pasti membuat adikku tersiksa sebelum ajalnya menjemput." Aku menepuk secara perlahan dadaku, menghentikan rasa sesak dan nyeri.

Tes.

Cairan hangat keluar dari hidungku, mengenai pergelangan tangan. Dokter Bastian yang duduk di hadapanku, buru-buru bangkit dan menghampiri. Tangannya mengangkat daguku agar kepalaku mendongak ke atas. Mencoba menghentikan aliran darah yang keluar dari hidungku dengan tisu yang ada di meja.

"aku baik-baik saja... Aku hanya perlu istirahat." Aku ingin dokter Bastian pergi dari rumahku. Sebelum tangisku pecah, dia harus meninggalkanku sendiri.

"Tapi keadaanmu sedang tidak baik-baik saja. Aku akan pergi, jika ada temanmu yang datang kemari untuk menemani." Dia masih memegangi daguku dengan tisu yang ada di hidung.

Aku mengambil alih tisu itu.

"Percayalah, aku baik-baik saja.mungkin sebentar lagi temanku datang. Aku tidak ingin merepotkanmu, kamu boleh pergi sekarang."

Aku tidak ingin orang lain melihatku menangis. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan dokter Bastian. Dia pasti akan merasa bersalah, saat aku menangis setelah mendengar penjelasan itu.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang