identitas yang terbongkar

6 2 0
                                    

"Oh bayiiiii, aku pikir kita tidak akan bisa bertemu lagi." Tubuh tinggi dan besar itu melepas pelukannya. Menunduk mensejajarkan diri.

"Kenapa ada sebutan bayi?"

"Karena orang-orang terdekatmu memperlakukan kamu seperti bayi. Termasuk jimmy-mu itu. Aku melihatnya di luar jendela. Meniup wajahmu yang tertidur berkali-kali..."

Fuuuuh!

Dibawah hujan yang turun, Bian melakukan hal yang sama seperti yang Jimmy lakukan. Meniup wajahku.

"Seperti itu, Niana..." Ucapnya dengan wajah berdekatan denganku.

***

Pukul 12 malam, mataku tidak kunjung terpejam. Berbaring di atas sofa, sedangkan Bian berbaring di bawahnya.

Dalam tidurnya dia memegangi tanganku, menaruhnya di dada. Tidak tidur dalam keadaan damai, dia tidur menahan sakit. Luka yang belum kering terdapat di beberapa bagian tubuhnya. Bahkan tangan sebelah kiri, terlihat sembab.

Aku yakin, dia dalam masa perawatan. Seharusnya dia tidak datang, sebelum kondisinya membaik.

Sedikit pergerakan dariku, membuatnya terbangun. Mata sayu itu terbuka.

"Kamu belum tidur?" Tanyanya dengan suara lemah.

"Ugggghhhhhttt!" Dia bersusah payah untuk bangun.

Meringis memegangi beberapa luka di lengan, dia duduk menghadap ke arahku.

"Apa yang harus aku lakukan, untuk membuatmu segera tertidur, bayi?" Tanyanya.

"Aku akan segera tidur." Memintanya untuk menjauh.

Bukannya menjauh, dia menyelipkan tangannya dibawah kepalaku. Wajahnya mendekat.

Fuuuh! Fuuuu! Fuuuu!

Bian meniup wajahku secara perlahan.

"Aku harap kamu segera tertidur, bayi..."

jujur saja, hal semacam ini tidak akan membuatku tertidur. Aku tertidur jika tubuhku terasa lelah, dan aku lupa dengan masalah yang ada di pundakku. Bukan tiupan di depan wajah.

Dia hanya mampu melakukannya dalam waktu 5 menit. Berhenti meniup, lalu membaringkan kepala di samping kepalaku. Dia tidak lagi terlihat kuat, dia lemah sekarang, dia tidur sekarang.

Mungkin jika anak buah Ronald datang lagi untuk menyerang, kurasa dia tidak akan mampu untuk melawan.

Aku menatap wajahnya yang tertidur, serta luka di bahu dan leher.

Fuuuh! Fuuuuh! Fuuuuh!

Meniup wajahnya berkali-kali. Berharap dia tertidur nyenyak, dan lupa akan rasa sakit yang ada di tubuhnya. Tidak lupa meniup luka menganga, yang ada di bagian bahu.

"Terima kasih untuk tidak pergi... Kuharap Tuhan juga memberikan bantuan setiap kali kamu dalam keadaan terdesak. Jangan sampai Tuhan mengambilmu juga, seperti mengambil adikku." Bisikku di hadapan wajahnya.

Napasnya tidak beraturan, saat aku mengucapkan kalimat itu, dadanya turun naik tak menentu.

"Maaf, maaf, Aku tidak akan berisik lagi..."

Kembali meniup wajahnya dengan perlahan. Aku berpikir, tindakanku akan membuatnya tertidur lelap. Entahlah, aku tidak tahu ini akan berhasil atau tidak.

***

Berita hari ini, masih membahas rumah besar yang terbakar di kawasan sepi penduduk. Rumah milik Ronald, dipenuhi wartawan berbagai media.

Lewat layar televisi, aku dapat melihat kondisi rumah Ronald sekarang. Hampir 90% terbakar habis. Menyisakan puing-puing bangunan, yang sudah menjadi arang.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang