Bian merangkak di atas tubuhku, darahnya menetes mengenai wajah.
"Apa kamu baik-baik saja Niana?" Ucapan dengan napas tersengal-sengal.
Aku seperti tidak punya tenaga untuk menjawab. Meski tidak terluka parah, tapi aku merasakan lelah yang amat sangat.
Tidak menyangka beberapa menit yang lalu, aku berbaring di tengah-tengah rel, dengan tubuh berada di bawah kereta yang melintas dengan cepat. Masih teringat bagaimana, tanah di sekitar berguncang hebat.
Bian berdiri, berusaha mengangkat kerah baju pria yang menindih tubuhku.
"Niana kamu baik-baik saja?" Tanyanya sekali lagi.
Aku menelan ludah.
"Bian, mereka berani menyerangku secara terang-terangan. Mereka hendak membawaku menemui Ronald." Aku memejamkan mata dan mengatur nafasku yang masih sesak.
Tidak membalas ucapanku. Dia bergegas mengangkat tubuhku naik ke atas peron. Berbaring menatap pria yang tertelungkup dengan kepala terbalik itu.
Bian beralih padanya. Menyeret tubuh itu di tengah-tengah rel. Tidak seperti posisi semula. Tubuh pria itu terbaring, dengan kepala berlandaskan tumpuan besi rel.
Dengan posisi seperti itu, aku yakin saat kereta melintas, tubuhnya akan terlindas.
Bian segera naik ke peron, menghampiri dan mengangkat tubuhku. Aku dapat melihat, dua petugas juga terkapar dengan tubuh bersimbah darah. Aku yakin, esok hari akan ada berita menggemparkan.
Terdengar suara kereta api dari kejauhan. Bian membawaku menjauh dari garis pembatas. Kreta melintas di hadapan kami, dapat kulihat kepala pria itu tergilas.
"Apa kita akan berurusan dengan polisi setelah ini?" Tanyaku panik, saat berada dalam dekapannya.
"Kuharap tidak, Niana..."
Kereta berhenti di depan kami, pintu terbuka. Tidak ada yang turun di stasiun ini, Bian membawaku masuk ke dalam kereta.
Kereta tampak sepi, hanya ada beberapa orang di dalam kereta.
Mereka tampak syok, melihat penampilan kami. Terlebih melihat tubuh Bian yang penuh luka.
Bian membawaku melintasi penumpang lainnya, menuju gerbong yang sepi. Memilih untuk duduk di ujung gerbong.
Dapat kulihat, beberapa penumpang saling berbisik.
"Kalau kamu malu, sembunyikan saja wajahmu, Niana..."
Aku mengalungkan tanganku di tubuhnya, membenamkan wajah di leher. Tidak ingin seseorang mengenaliku.
Bian menyandarkan tubuhnya. Seperti memperlakukan anak kecil, dia mendekap kepalaku. Menyembunyikan wajahku di tubuhnya.
Terdengar suara langkah mendekat. Aku tidak tahu siapa yang menghampiri kami.
"Maaf sebelumnya, apa yang menimpa kalian?"
Lewat pantulan kaca jendela, aku dapat melihat seorang petugas berdiri di hadapan kami.
"Seseorang menyerang... tidak hanya melukai kami, tapi melukai beberapa orang yang berjaga di stasiun sebelumnya." Bian menjawab dengan nada datar.
"Kami bisa memanggil bantuan untuk datang di stasiun berikutnya," ucap petugas.
"Tidak perlu." Buah menjawab cepat.
Lewat bayangan kaca jendela, petugas mengeluarkan sesuatu dari kantong pakaian.
"Terjadi kerusuhan di stasiun sebelumnya... bisakah mendatangkan petugas polisi untuk memeriksa?" Dia berjalan meninggalkan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
jasad adikku Di plafon
Mystery / Thriller"sejak kapan kamu jual diri?" Niana berteriak lantang di hadapan adiknya. Niana marah, saat mendapati video dan foto tidak senonoh milik adiknya di s1tus dewasa. "Itu bukan jual diri Niana. Itu seni..." Mendengar kalimat itu keluar dari mulut adikny...