Aku menoleh pada perempuan yang berjalan di belakang Ronald. Dia hanya mengibaskan tangan, namun tidak menetap ke belakang.
Sekarang tatapanku pada pria yang ada di hadapanku. Dia memperlakukan aku dengan baik, ya meskipun itu dengan tujuan tertentu.
Apa aku harus menghabisinya? Bukankah itu akan menjadi masalah besar, jika orang penting ini tewas dibunuh? Kematiannya tidak mungkin diabaikan.
Sekarang aku bingung harus menyembunyikan senjata ini di mana.
"Kamu tidak menyentuh makananmu sweaty...." Pria paruh baya di hadapanku menatap piring makanan milikku.
"Aku... Aku kedinginan." Menggosokkan telapak tangan pada kedua lengan. Berharap pria itu menyerahkan jas yang ia kenakan padaku.
Dia menaruh sendok dan juga garpu Di atas piringnya, lalu setelahnya menyeka mulutnya dengan tisu. Pria itu berdiri dari tempat duduknya, melepas jas yang ia kenakan. Lalu menyisakan kemeja putih.
Dia mengitari meja untuk menghampiriku, menaruh jas itu di tubuhku.
"apa sekarang sudah hangat?" Tanyanya memegangi kedua bahuku.
Aku mengangguk, seraya menyuapkan sisa makanan terakhir ke mulut.
Berkencan dengan pria yang sebaya dengan orang tuaku. Aku tidak sampai hati jika harus melepaskan tembakan ke tubuhnya. Berharap dia bisa membawaku, keluar dari tempat ini.
Dia mengulurkan tangan, memintaku untuk bangkit, dan kembali ke kamar.
Alunan musik klasik menggema di tengah-tengah ruangan. Aku melihat ke sekitar, menyaksikan beberapa perempuan juga menemani para tamu.
Gedung yang melebihi hotel bintang 5. Dengan langit-langit menjulang tinggi. Terdapat beberapa tangga melingkar untuk menuju ke lantai atas.
Pria paruh baya ini melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku harus berlaku baik, agar tidak ada yang mencurigaiku.
Klik!
Pria itu mengunci kamar.
Dia melonggarkan dasi yang ia kenakan. Sedangkan aku berdiri di depan meja rias.
Ya tuhan apa yang harus aku lakukan sekarang ?
"Kenapa berdiri di sana? Kemarilah..." Dia duduk di ranjang lalu menepuk ranjang itu.
"Sebenarnya.... Aku tidak mau melakukan ini," ucapku uang masih berdiri di depan meja rias.
"Apa maksudmu sweaty?"
"Aku tidak ingin melakukan pekerjaan ini. Tidak ingin melayani siapapun termasuk kamu." Aku mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati.
Pria itu menyunggingkan senyum tipis. Dia melepas dua kancing kemeja bagian atas.
"Kenapa begitu sweaty? Aku mengeluarkan banyak uang, untuk bisa mengencani perempuan muda yang ada di aplikasi BIMBIB. Perempuan incaran banyak orang. Lalu sekarang, kamu menolak untuk melakukannya? Kalau kamu memang keberatan melakukan pekerjaan ini, kenapa bisa kamu ada di aplikasi BIMBIB?"
Berharap pria ini mengasihaniku. Aku menceritakan apa yang terjadi pada adikku. Kejadian yang menimpa adikku membuatku terseret masuk ke dalam masalah besar.
Dia menganggukkan kepalanya berkali-kali setiap aku bercerita.
"Tapi sweaty... Semuanya sudah terlanjur. Aku telah mengeluarkan banyak uang dan menyerahkannya pada Ronald. Uang itu tidak bisa kembali. Dan aku.... Tidak ingin rugi."
Dari kalimat itu, aku tahu bahwa pria ini tidak menaruh rasa empati padaku. Dia tidak mau diajak berkompromi.
Meski dia tidak meninggikan suara, tapi aku yakin dia tidak akan memenuhi permintaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
jasad adikku Di plafon
Mystery / Thriller"sejak kapan kamu jual diri?" Niana berteriak lantang di hadapan adiknya. Niana marah, saat mendapati video dan foto tidak senonoh milik adiknya di s1tus dewasa. "Itu bukan jual diri Niana. Itu seni..." Mendengar kalimat itu keluar dari mulut adikny...