Zhao di makamkan di kediaman milik pribadi keluarganya. Tepatnya di halaman luas, di belakang rumah kedua orang tuanya. Banyak orang berdatangan, teman-teman kuliah Zhao, kerabat dekat keluarganya yang dari China, rekan kerja restoran milik ayahnya, semuanya berdatangan silih berganti untuk mengucapkan bela sungkawa.
Althea memilih tidak menonjolkan dirinya. Dia memilih kesendirian di antara orang-orang yang silih berganti melewatinya. Sementara Farlan ikut sibuk mengurus jenazah. Karena Zhao telah memeluk islam, cara pemakamannya pun mengikuti bagaimana islam memperlakukannya.
Dia sudah tidak mampu menangis lagi, sejak tadi dia hanya sibuk mengepalkan lengan kirinya dengan tangan kanannya tersebut. Menutup separuh wajahnya dengan masker, matanya yang sembab berusaha dia sembunyikan dari kacamata photocromic-nya.
Melihat bagaimana Zhao perlahan dimasukkan ke liang lahat, dengan Farlan salah satu yang membantu membawanya ke dalam sana. Althea dapat melihat bagaimana sosok kedua orang tua Zhao, mamahnya menangis dengan ayahnya yang memeluk beliau dengan kuat. Menggambarkan bahwa keduanya begitu terpukul, namun di sisi lain mereka terlihat menerimanya dengan hati yang kuat pula.
Althea menundukkan kepalanya, tidak sanggup melihat bagaimana tubuh Zhao sudah masuk di dalam sana, lalu perlahan dengan pelan ditutupi oleh tanah. Zhao kini benar-benar telah pergi, kini jasadnya telah dipeluk oleh bumi, menyatu dengan bumi dan seisinya. Mengirimkan Al-Fatihah pada pria itu, yang entah sudah ke berapa kalinya, dia berharap Allah menempatkan Zhao di tempat terbaik-Nya. Althea bersaksi bahwa Zhao adalah manusia yang baik hatinya, meskipun islam memeluknya di saat-saat terakhir.
Di udara yang dingin ini, langit yang mendung, dan suasana yang begitu sunyi, seolah-olah bumi turut merasakan kehilangan, turut senyap seperti perasaan Althea. Ketika pandangannya naik kembali untuk melihat bagaimana kedua orang tuanya itu berdoa untuk Zhao, pria itu berdiri di sana. Melihat bagaimana proses penguburannya yang sudah hampir selesai, kini orang-orang saling mengirimkannya doa.
Althea tidak mampu menahan tangisnya, entah penglihatan seperti apa yang dia lihat saat ini. Zhao berdiri di samping mamahnya, bibirnya mengukir senyum yang tulus. Kedua tangannya dia taruh depan tubuhnya, pakaiannya yang serba putih, wajahnya yang semakin putih bersinar, alis dan matanya nampak semakin berkerah, dengan model rambutnya yang khas menyisir ke belalakang, sampingnya yang tipis, dan beberapa helai menjuntai di depan keningnya.
Zhao kini memandangi Althea, menyadari bahwa Althea mampu melihatnya, Zhao tersenyum lebar. Kepalanya dia miringkan sedikit, Zhao seolah mengucapkan salam perpisahan padanya, kepalanya dia anggukkan secara pelan dengan maksud mengatakan bahwa, semuanya baik-baik saja, Al. Aku tidak pernah meninggalkanmu.
Althea menangis, kedua pundaknya bergetar, ketika perlahan melihat sosok Zhao itu perlahan menghilang, layaknya ditiup oleh angin musim dingin. Bibirnya bergetar pelan, yang dia lihat beberapa detik yang lalu adalah Zhao, benar-benar Zhao. Pria itu terlihat lebih gagah, lebih berbeda, dan Althea yakin jika Zhao mendapatkan tempat yang baik, terbukti bahwa senyuman pria itu lebih indah dari semasa hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saudade in Andalusia (SELESAI)
SpiritualKritik dan vote dibutuhkan, semoga kalian betah membacanya. Gracias 🙏 *** Andalusia tidak hanya menjadi saksi bisu tempat sejarah peradaban islam. Andalusia kali ini juga menjadi saksi pertemuan cinta dan kasih. Dalam balutan keislaman, pertemuan m...