Althea Mahdia. Perempuan cantik dan anggun itu tengah duduk di teras rumah, sambil memegang sebuah buku dongeng tentang Princess Moana, yang selesai dia baca sepuluh detik yang lalu.
Ini sudah buku dongeng ke sepuluh yang dia baca hari ini, dengan maksud untuk menyibukkan dirinya, dan memaksa dirinya agar terus tidak teringat waktu yang sudah pergi darinya.
Hujan turun dengan derasnya, Althea kini menatap pemandangan yang dapat menenangkan hatinya tersebut. Sudah hampir satu bulan dia di kota kelahirannya. Rumah yang selalu diisi dengan Abi dan Umi kini menjadi sunyi, meskipun suara keponakannya dapat meriuhkan suasana. Namun Althea perlahan, membiasakan diri dengan keadaan.
Melewati dua tahun di mana bentuk kehilangan dirasakan olehnya, dia perlu sebuah langkah yang besar dan perlahan. Althea masih mengusahakannya, kini dia mulai sibuk dengan tulisan pertamanya yang dia rencanakan ingin dia terbitkan. Dia juga sudah mengelilingi beberapa tempat, dengan Oreo yang setia mengikutinya ke manapun. Bersama dengan kamera kesayangan milik seorang pria yang kini sudah tidak ada di sampingnya.
Suara mobil menderu, memasuki kawasan halaman rumahnya. Perempuan itu sangat hafal dengan mobil putih dengan plat nomornya itu. Althea masih menahan pandangannya pada mobil itu, lalu melihat Ardin keluar dari mobil dengan payung hitam yang dia kenakan agar terlindungi dari hujan yang semakin deras.
Ardin mengucapkan salam, saat kedua kakinya telah menginjak lantai teras, meletakkan payungnya dengan baik. Althea menjawab salamnya dengan pelan, pandangannya kemudian beralih pada keponakan laki-laki yang sejak awal sudah duduk di sampingnya, ikut menemaninya membaca buku.
"Aku panggilkan, kak Farlan dulu."
Ardin mengangguk pelan, membiarkan perempuan bermata teduh tersebut bangkit dari duduknya.
"Halo, paman Ardiin."
Ardin tersenyum mendengar anak kecil yang memasuki dua tahun setengah itu lancar memanggil namanya.
"Hai, Rafa."
Ardin segera duduk di samping anaknya Farlan. "Rafa lagi ngapain tadi?"
"Baca buku sama aunty Al."
Ardin tersenyum sendu, mendengar bagaimana keponakannya itu menyebut nama Althea. Ardin mengerti jika Althea tidak ingin mendengar nama panggilan itu lagi dari orang lain, namun sepertinya Althea membiarkan anak kecil ini memanggilnya Al.
Ikut memperhatikan bagaimana Rafa memperhatikan setiap gambar yang ada di buku dongeng, dan mulai membacakan gambar yang di maksud.
Farlan muncul dari pintu masuk, tersenyum lebar kala melihat kembali Ardin yang sudah satu tahun tidak dia lihat.
"Maasya Allah, Ardin. Apa kabar?"
Kedua laki-laki dewasa itu berpelukan sesaat, Farlan menepuk pundak Ardin dengan bangga. Sempat dia sadari jika semakin beranjaknya hari, Ardin mulai berubah. Mungkin kharismanya yang semakin meningkat sebab kini dia sudah menyelesaikan koas-nya sebagai dokter muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saudade in Andalusia (SELESAI)
SpiritualKritik dan vote dibutuhkan, semoga kalian betah membacanya. Gracias 🙏 *** Andalusia tidak hanya menjadi saksi bisu tempat sejarah peradaban islam. Andalusia kali ini juga menjadi saksi pertemuan cinta dan kasih. Dalam balutan keislaman, pertemuan m...