30. Kritis Lagi

61 4 0
                                    

Happy reading!

.
.
.

Fandi melangkah masuk menuju rumah besar kediaman keluarga Dayakansa dengan membawa bayi kecil di dalam gendongannya. Lelaki yang baru saja berstatus sebagai seorang ayah itu tersenyum kala melihat rumahnya yang di hias untuk menyambut kedatangan bayi kecilnya.

Namun, hiasan itu tidak hanya terlihat seperti hiasan penyambutan. Melainkan juga seperti hiasan untuk pelepasan seseorang. Tidak lama banyak orang-orang berdatangan menggunakan pakaian serba hitam dengan wajah tanpa sedikitpun menunjukkan senyuman.

Fandi tidak menyambut mereka, kini ia melangkah ke sudut ruangan. Mata kecil yang baru saja melihat indahnya dunia itu menatap Fandi.

Hati Fandi rasanya hancur kala melihat gadis kecilnya menunjukkan senyum tanpa gigi ke arahnya. Gadis kecil yang kini hanya memiliki dirinya, Fandi akan selalu ada untuk gadis kecil itu.

Mata Fandi kini beralih menuju sebuah foto yang terpajang di tembok. Di sana ada sebuah foto seorang gadis yang tersenyum bahagia.

Sudut bibir Fandi pun ikut terangkat melihatnya, “Lo benar, Vi. Rumah kita dihias begitu indah saat Freya lahir.”

“Orang-orang juga berdatangan, bahkan sekarang rumah kita sangat ramai, Vi.” Fandi kini menatap gadis kecil yang ada dalam gendongannya, “Tapi sayang, Mamah Freya sekarang malah gak ada di tengah keramaian ini.”

“Maafin Papah ya, Freya,” ucap Fandi dengan gemetar berbicara pada bayinya yang baru berusia beberapa hari itu, “Walau Papah bisa ngasih seluruh dunia Papah ke Freya, tapi Papah gak bisa minta Mamah di sisi Freya.”

Luka, hati Fandi rasanya sangat sakit. Di saat Via melahirkan Freya, ia tidak bisa menahan gadis itu lebih lama lagi di dunia ini.

Via menghembuskan nafas terakhirnya kala ia berhasil melahirkan sosok Freya ke dunia ini. Fandi bahagia bisa melihat dan menggendong bayinya. Tapi, ia sangat terluka karena kehilangan Via di waktu yang bersamaan.

Sekarang Fandi hanya bisa menguatkan dirinya. Bagaimana pun juga, sekarang Freya hanya memiliki dirinya. Fandi tidak akan membiarkan anaknya merasa kekurangan kasih sayang walaupun ia kini telah tidak memiliki sosok ibu.

Kini satu tangan menepuk pundak Fandi. Wanita yang menggunakan pakaian hitam itu mengambil Freya dan menggendongnya.

“Freya pasti akan mendapatkan kasih sayang hebat dari seluruh keluarganya,” ucap Risa dengan suara gemetar.

Bagaimana ia tidak terluka? Rasanya baru saja Risa memiliki sosok Via dalam hidupnya. Lalu sekarang dengan mudahnya Tuhan merebut kembali Via dari mereka.

Fandi tidak bisa menutupi lukanya di depan sang ibu. Risa pun mengerti akan luka yang dimiliki Fandi. Ia memeluk lelaki itu sambil menggendong cucu pertamanya itu.

“Kamu tidak sendiri, Nak.”

***

Tubuh Dava terasa begitu panas. Bahkan ia kini kembali tidak bisa mengendalikan dirinya karena penyakit yang ia derita.

Malam yang begitu gelap ini membuat penglihatan Dava semakin buram. Lelaki itu sedang berada di kamarnya dan mengerjakan beberapa tugas kuliah yang tak sempat ia kerjakan.

Semenjak pesta ulang tahun perpustakaan Daisy Book, sejak malam itu pula keadaan tubuh Dava semakin memburuk. Keringat dingin terus membasahi tubuhnya.

Semakin hari, bibir Dava semakin terlihat pucat. Nafsu makannya yang sudah menurun kini semakin memburuk.

Brukh!

Tubuh Dava terhempas, ia yang tadinya sedang duduk di atas kursinya kini malah jatuh lemah di atas lantai. Jangankan meminta tolong, mulut Dava saja rasanya sulit berbicara karena bibirnya terus bergetar.

Bahkan Dava tidak bisa bangkit untuk mengambil obatnya, ia sangat lemah. Wajah Dava kini semakin pucat, matanya memerah dan sedikit berair.

“G-gue c-cinta s-sama lo, Ay-yana Put-tri Dana-d-dipta,” batin Dava mengucapkan kalimat itu dan bibirnya pun berusaha menunjukkan senyumnya.

Tidak lama, penglihatan Dava semakin buram hingga semuanya kini menjadi hitam. Dava pingsan dan tidak sadarkan diri.

Ia menahan sakitnya sendiri tanpa seorangpun tahu. Bagi Dava yang ia rasakan sekarang adalah sebuah tebusan dari apa yang dulu pernah ia lakukan.

Dava sama sekali tidak pernah mengeluh dengan penyakit yang dideritanya. Bahkan lelaki itu menikmati setiap sakit yang tubuhnya alami.

Sekarang Dava mengerti bahwa sesuatu yang dulu kita berikan, maka akan kita dapatkan dikemudian hari. Hukum tabur tuai itu ada bagi Dava, dan ia menikmati setiap prosesnya walau menyakitkan.

“DAVA!”

Terlambat, sekali lagi Diana datang terlambat. Ia kini sudah menemukan Dava yang terpejam tak berdaya.

Dengan cepat Diana menghampiri Dava dan menepuk pelan pipi lelaki itu guna membangunkan. Namun, semuanya itu percuma, Dava tidak akan saat jika hanya diperlukan seperti itu.

Diana menelpon beberapa lelaki yang bekerja sebagai penjaga rumahnya yang direkrut oleh Dava. Mereka datang dan membopong tubuh Dava hingga membawanya ke mobil dan mengantarnya ke rumah sakit.

Dava kembali ke rumah sakit tapi kali ini Eza tidak membawanya ke ruangan yang biasa Dava singgahi. Keadaan Dava kali ini sangat buruk dari biasanya.

Bahkan Eza tidak mampu menangani Dava hanya seorang diri. Ia bersama salah satu dokter di rumah sakit itu memeriksa dan mencoba untuk menyembuhkan Dava.

Alkohol, itulah alasan kenapa tubuh Dava menjadi seburuk ini sekarang. Namun, kenapa zat itu kembali masuk ke dalam tubuh Dava? Bukankah Eza sudah sangat sering menegaskan padanya bahwa ia harus menjauhi minuman keras itu?

Dava hingga kini masih belum sadar, sudah berjam-jam Eza bersama beberapa rekannya menangani Dava. Hati Diana menjadi sangat gelisah.

Ia menunggu Dava di depan ruangan rumah sakit hingga jarum jam kini yang telah menunjukkan jam tiga dini hari. Sedikitpun tidak ada Diana merasa ngantuk, ia hanya memikirkan bagaimana keadaan putranya.

Air mata Diana jatuh, ia tidak sanggup jika terus berada di posisi seperti ini. Setelah kepergian Ayyana, hidup mereka berubah dan hancur seperti tertimpa badai.

Diana yang sangat menyayanginya tunangan putranya itu harus kehilangannya begitu saja. Ia juga mendapat kabar bahwa suaminya telah memiliki seorang anak dari wanita lain. Parahnya, wanita itu menjadi gila karena ulah suami sahnya.

Arga yang kini berada di balik jeruji besi dan Dava langsung lah yang menjadi salah satu pengugatnya. Bagaimana hati Diana bisa tidak hancur jika melihat semua adegan itu?

Sekarang, ia tahu bahwa selama ini Dava menyimpan penyakitnya sendirian. Andai posisi bisa diubah, maka Diana rela menggantikan tempat Dava.

Ia siap menanggung semua penyakit yang diderita oleh anaknya itu. Dava telah menyimpan penyesalan dan kerinduan terhadap Ayyana, sekarang ia malah harus menyandang penyakit yang begitu kejam.

Jangankan merasa bahagia, bahkan untuk sehat saja rasanya sudah tidak mungkin sekarang bagi Dava. Dalam keadaan yang begitu kritis seperti saat ini, Dava malah sepertinya terlihat lebih tenang.

Ia seakan betah tidak sadarkan diri seperti sekarang daripada harus bangun dan menatap betapa kejamnya dunia.

Eza menatap wajah Dava di tengah-tengah kerjanya. Di saat semua tenaga medis berusaha menyembuhkan dan menyadarkan Dava. Satu dokter itu malah sedikit tersenyum melihat Dava yang tidak berdaya.

“Ini yang kamu bilang, Dava? Ketenangan terbaikmu adalah menutup mata?” ucap Eza dengan suara kecilnya agar tidak terlalu didengar oleh orang lain, “Lalu bagaimana dengan saya? Saya hanya ingin menyembuhkan pasien saya yang satu ini. Dia adalah kamu, Davandra Haryan Wijaya.”

.
.
.

TBC

Zeana

DAVANDRA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang