.
.
.
Lee harus bersusah payah untuk mengingat setiap detail tentang masa kecilnya. Rasanya tidak masuk akal jika Lee tidak mengingat satu kisahpun tentang seseorang yang sangat ia rindukan kehadirannya.
Saat itu seharusnya Lee berusia lima tahun. Bukankah itu termasuk masa periode emas? Dimana seharusnya Lee remaja mengingat setidaknya satu atau dua kisahnya di masa kecil. Tapi nyatanya tidak sama sekali.
Lee bahkan sangat ingat saat duduk di sekolah dasar, waktu itu guru kelasnya memberi tugas untuk membuat sebuah tulisan tentang pengalaman waktu kecil. Satu per satu teman-temannya mengumpulkan hasil tulisan mereka dengan cepat. Sedangkan dirinya hanya duduk diam sembari memegang selembar kertas dan sebuah pensil yang hanya ia goyang-goyang. Lee tidak mengerti harus menulis apa. Bahkan untuk membuat satu kata di awal saja dia begitu kesulitan.
"Lee, mengapa tidak menulis?"
Lee menggeleng dengan kedua maniknya yang berembun. "Ibu Hana bisa membantuku? Aku ingin menulis tapi tidak bisa."
"Tulis saja apa yang pernah Lee lalui di masa kecil." Ibu Hana mengusap lembut kepala Lee. "Lee pernah pergi kemana? Coba ditulis."
Lagi-lagi Lee menggeleng. Kali ini sudut matanya sudah basah. Ketika ibu Hana menarik kepalanya untuk didekap di depan dadanya, bulir bening itu menetes dengan bebas.
"Bagaimana kalau Lee menuliskan ibu itu sosok seperti apa untuk Lee?" bujuk ibu Hana sekali lagi.
Lee terisak semakin dalam. Kepalanya menggeleng lemah. Membuat Ibu Hana ikut merasa sesak.
Kedua mata Lee memejam seraya mengeratkan selembar kertas pada dadanya. Kertas foto yang sudah rusak. Hanya menampakkan sepasang wanita dan pria serta seorang gadis yang berdiri di antara mereka.
Wajah gadis kecil itu sangatlah terlihat jelas. Lee bahkan langsung mengenali bahwa itu adalah Lee kecil. Tapi tidak dengan wajah wanita dan pria yang berdiri di samping kanan dan kirinya. Seperti sengaja di rusak, bagian wajah itu tidak terlihat sama sekali.
Kata ayah, itu adalah foto ayah, ibu, dan Lee. Ayah bilang hanya memiliki satu foto itu saja. Satu lembar foto yang sampai saat ini Lee simpan. Sesekali ia usap bagian yang rusak berharap ada keajaiban disana sehingga Lee bisa melihat wajah ibunya.
Lee membuka kedua matanya yang sudah basah entah sejak kapan. Ia mengangkat lembaran foto itu tinggi-tinggi. Menatap sekali lagi gambaran tiga orang disana. Masih berusaha untuk mengingat satu saja cerita tentang mereka. Namun hasilnya Lee justru semakin pusing. Satu sisi kepalanya terasa begitu sakit hingga ia harus mencengkeram kepalanya begitu kuat.
"Ahh!" rasa sakit itu justru semakin menjadi. "AAAKHH!!!" jeritnya lagi. Lee nyaris memukuli kepalanya jika bibi Han tidak buru-buru masuk ke dalam kamarnya.
"Nona!" pekik bibi Han ketika mendapati anak majikannya berguling-guling di atas ranjang. Wanita tua itu segera membuka laci nakas untuk mencari obat yang harus Lee telan ketika ia merasa kesakitan seperti ini.
Satu butir kapsul berwarna biru sudah berhasil lolos melewati tenggorokan Lee disertai satu gelas air putih yang langsung habis dalam dua kali teguk.
Setelah menyimpan gelas dan obat, bibi Han kembali duduk di samping Lee. Memijiat kening gadis itu untuk membantu meredakan nyeri di kepalanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
PARK & LEE
FanfictionJimin bertekad mencari manusia yang sudah menghancurkan hidupnya lima belas tahun yang lalu. Hingga akhirnya ia membangun sebuah firma hukum dibantu oleh Hae Mi dan teman-temannya. Siapa sangka di tengah pencarian itu Jimin justru bertemu dengan se...