8 - A Truth

224 30 9
                                    

.

.

.

"Aku sudah bilang jangan menelponku." Tuan Lim menahan suaranya agar tidak terlalu keras. "Pernikahan Lee hanya tinggal beberapa hari saja. Lalu aku akan pulang. Oke?"

Tuan Lim melihat ke arah pintu ruang kerjanya beberapa kali. Memastikan tidak ada orang  yang tiba-tiba masuk lalu memergoki dirinya.

"Iya, dia akan menikah dengan anak itu. Kau tenang saja. Setelah semuanya selesai—" Tuan Lim menahan napasnya untuk sesaat sebelum akhirnya menghelanya dengan panjang. Seperti ada sebuah lelah yang tak berkesudahan. Kalimatmya tidak selesai. Lantas ia memutus sambungan telepon itu begitu saja.

Tuan Lim menyimpan ponselnya di atas meja. Kepalanya tertunduk dan ia meremas kepalanya sendiri karena tiba-tiba saja ia menjadi pening. Pandangannya berkabut seiring dengan rasa sakit di kepalanya yang semakin terasa. Hingga terpaksa ia melakukan panggilan darurat pada Yoon Jin —orang kepercayaannya meskipun ini sudah larut malam.

"Tuan," Yoon Jin datang ke ruang kerja tuan Lim dengan tergopoh-gopoh. Dengan penampilan yang jauh berbeda saat di pagi hari.

"Ah maaf aku mengganggu waktu tidurmu," kening tuan Lim terlipat. Kedua alisnya nyaris menjadi satu. Wajah keriputnya nampak pucat seperti kehabisan darah. 

"Apa yang terjadi tuan?" Yoon Jin bergerak mendekat seraya memijat kedua bahu dengan pelan hanya untuk sekedar meredakan sakit. "Anda memikirkan apa malam-malam begini?"

"Dia menelponku," Yoon Jin diam saja mendengarkan. "Seperti biasa, dia menanyaiku—"

Tuan Lim kembali menunduk. Lagi-lagi klaimat itu tidak selesai. Tangan keriputnya terus menekan kepalanya karena sakit di kepalanya semakin terasa. "Bibi Han sudah kuminta untuk menyiapkan obat. Tunggu sebentar tuan," Yoon Jin terus memberikan pijat di sebagian tubuh tuan Lim. Berharap tuannya merasa baikan.

"Tidak hanya dia, akupun juga lelah. Ingin semua ini berakkhir."

Yoon Jin mengangguk tanpa memberikan komentar apapun. Ia mengerti tuannya saat ini tidak butuh kalimat penenang. Hanya butuh telinga untuk mendengarkan semua keluhannya.

Pintu yang terbuka, menampilkan bibi Han yang masuk seraya membawa nampan dengan satu gelas air putih dan tiga butir obat. Lalu meletakkannya di atas meja tepat didepan tuan Lim.

"Anda terlambat meminum obat tuan, saya sudah mengingatkan tadi sore." Bibi Han berdiri dengan kepala yang sedikit tertunduk menunggu tuannya menelan semua obat dengan bentuk kecil-kecil itu.

"Hah, iya maaf." Tuan Lim meletakkan gelas yang sudah kosong dan menggesernya hingga ke tengah meja. "Bagaimana Lee hari ini?" wajah tua tuan Lim terangkat menatap bibi Han.

"Seharian ini nona di kamar. Tuan Jimin mengunjunginya tapi hanya sebentar."

Malam ini berakhir dengan tuan Lim yang tertidur di ruang kerja dan Lee yang terjaga di kamarnya hingga menjelang pagi. Satu lembar kertas yang digenggamnya sejak kemarin nampak lusuh dan nyaris robek.

Satu hari penuh Lee tidak keluar dari kamar sejak kejadian malam dia dengan sengaja mencium Jungkook di depan ayahnya dan Jimin. Berharap jika Jimin membatalkan pernikahannya nyatanya Jimin justru bersikap semakin lembut dan itu membuat Lee menjadi tambah muak.

Lee duduk di sofa dekat balkon kamar. Hari ini rencananya sudah bulat. Dengan berbekal selembar kertas dan satu bungkus berisi butiran berwarna biru yang sudah ia kumpulkan sejak beberapa bulan ini Lee berharap mendapatkan sebuah jawaban.

PARK & LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang