Hal ini, ada sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi. Sesuatu yang tidak datang pada orang terdekat sendiri. Perasaan asing, pada keluarga, yang seharusnya menjadi orang paling dekat dengan diri sendiri.
Rumah.
Saga Ranjaya Balaputradewa, tidak pernah merasa bahwa bangunan besar itu layak di sebut rumah. Apa arti rumah? Sebuah bangunan yang mampu melindungi kita dari kejahatan di luar sana? Atau, bangunan yang justru menjadi sumber luka bagi diri kita?
Tujuh belas tahun hidup, Saga tidak pernah menemukan makna berarti dari bangunan yang mereka sebut rumah itu.
Karena bagi Saga, di sana lah lukanya hadir. Di sana lah ia mulai meragukan keadilan. Dan, di sana lah, ia merasa asing di antara banyaknya sanak saudara. Mereka memiliki hubungan darah, namun mereka bagaikan orang asing yang bisa saja membuatnya menghilang.
Rumah.
Tempat di mana Saga tidak pernah ingin pulang.
"Selamat pagi, anak ganteng Bunda!"
Dan satu lagi, Saga selalu membenci bagaimana suara lembut itu terdengar setiap pagi. Suara yang tentunya bukan di tuju untuknya. Melainkan untuk sosok yang lebih tua. Untuk sosok yang selalu membuat bangga keluarga.
"Pagi, Bund. Ini apa?"
"Ini nasi goreng sepesial, di campur hati ayam sama udang, kesukaan kamu. Ayo makan." Liza tersenyum, kemudian menyendok nasi tersebut untuk di pindahkan ke atas piring si putra sulung. "Makan yang banyak, ya, Bang." Senyum Liza tidak pernah luntur kala menatap wajah yang sangat mirip dengan suaminya.
"Ayah mana, Bund? Kok cuma Abang yang diambilkan nasi nya?" Suara sang kepala keluarga terdengar menginterupsi. Liza tertawa kecil, melihat wajah merajuk suaminya. Lalu mengambilkan nasi goreng buatan nya untuk Ilham.
"Kalian makan yang banyak. Biar semangat menjalani hari rabu ini. Terutama Abang, anak hebat Bunda yang baru pulang dan bawa kemenangan!" Ada pancaran hangat di kedua mata Liza. Tangan nya terulur mengusap kepala si sulung dengan lembut.
"Iya, Bunda, siap!" jawab Javvas Byantara Samudera, si sulung yang menjadi kebanggaan keluarga. "Hoy! Kenapa diem aja? Nggak makan, lo?" Kini Javvas beralih pada satu-satunya orang yang bungkam sejak tadi.
Saga. Sosok itu mendongak dan menatap Javvas. "Kalau gue makan, artinya gue bunuh diri."
"Hah?" Javvas bingung dengan jawaban yang di lontarkan adik kembarnya.
"Gue alergi udang kalau lo lupa. Dan nasi goreng ini ...," Tangan Saga menunjuk nasi goreng buatan Liza di depannya. "Ada campuran udang nya. Bisa-bisa wasallam kalau gue makan ini."
"Astaga, iya! Ya ampun, Dek, maaf, Bunda lupa." sahut Liza. Tatapan nya mengarah pada si bungsu dengan raut bersalah. Sedangkan Saga hanya tersenyum tipis. "Bunda buatin yang baru, ya? Gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Ujung Rumput dalam Lumpur
Teen FictionIni tentang posisi yang selalu membuat orang lain iri. Yang katanya, posisi ini adalah impian semua orang, karena yang paling berpotensi untuk mendapat banyak afeksi. Si bungsu. Yang kata orang-orang adalah anak manja dan anak yang paling mungkin...