Terkadang, sesuatu yang terjadi memang tidak sesuai dengan keinginan. Begitu juga dengan Saga yang pagi ini harus berada di satu ruangan yang sama dengan sang ayah. Begitu membuka mata, bukan sosok Javvas yang ia temui, melainkan ayah yang sudah duduk di sofa, berkutat dengan laptop dan juga berkas-berkas miliknya.
Menghela napas, Saga memandang langit-langit ruang rawat. Hembusan napas Saga tanpa sadar menarik perhatian Ilham yang sejak tadi berusaha acuh akan atensi sang putra.
"Kenapa? Ada yang sakit?"
Mendengar nada suara dingin khas milik ayah nya, Saga menoleh. "Enggak, Yah, nggak pa-pa. Nggak ada yang sakit juga." Tubuh nya sudah jauh lebih baik setelah pemeriksaan tadi pagi. Ia tidak sakit, melainkan ia bosan. "Ayah lagi apa? Nggak ke kantor?"
"Gimana Ayah bisa ke kantor, kalau Abang kamu itu mengancam Ayah."
"Mengancam?"
Untuk sejenak, Ilham alihkan tatapan nya ke arah Saga. "Abang kamu yang minta Ayah ke sini. Dia bilang, kalau Ayah nggak mau, dia nggak akan belajar bisnis lagi. Abang kamu itu, memang paling tahu kelemahan Ayah." Setelahnya, Ilham kembali fokus menatap layar laptop.
Saga terdiam mendengar balasan ayah nya. Sudah ia kira, ayah di sini memang bukan karena keinginan nya sendiri. Javvas tentu saja adalah dalang di balik ini semua. Tentu saja, karena ayah tidak akan pernah bisa menolak permintaan dari putra kebanggaan nya.
"Kamu kapan sembuh nya? Mas Aska ngomong apa?"
Dengan susah payah, Saga mendudukkan tubuh nya. Kemudian menjawab pertanyaan sang ayah. "Aku nggak tahu, Mas Aska nggak bilang apa-apa sama aku. Mungkin ... Bang Javvas tahu."
"Ck! Sudah Ayah duga. Abang kamu itu bungkam, nggak mau jawab apa-apa. Kamu tahu, nggak, kondisi kamu saat ini mungkin jadi beban pikiran buat Abang kamu itu? Kasian dia, sebentar lagi ada perlombaan, juga sibuk sama organisasi nya. Belum lagi harus ngurus kamu. Saga, cepet sembuh, biar Abang kamu nggak khawatir lagi."
"Aku juga mau nya gitu ...," Saga menundukkan kepala. Menatap jemari tangan nya sendiri. "Nanti siang aku coba tanya sama Mas Aska lagi. Kalau boleh, hari ini juga aku bakal minta langsung pulang."
Ilham setuju, "Bagus. Tapi nanti jangan bilang sama Abang kamu. Jangan sampe dia tahu."
"Iya, Yah." Mati-matian ia menahan getar suaranya, agar ayah tidak curiga bahwa kini kedua matanya siap menumpahkan air mata. Ia tidak ingin, ayah mencela dirinya sebagai laki-laki lemah. Ia tidak lemah, ia kuat!
"Yasudah, sekarang kamu makan dulu. Itu bubur nya ada di atas meja." Sudah pukul sembilan, dan Ilham baru sadar jika Saga belum memakan sarapan nya. "Terus nanti minum juga obat kamu. Semua nya sudah disiapkan di sana."
"Iya. Makasih, Ayah." Bahkan sejak tadi, saat ayah nya berbicara, mereka tidak saling menatap sama sekali. Ayah nya tetap fokus menatap layar laptop, dengan jemari yang juga bergerak di atas keyboard. Menghela napas, Saga mulai menyendok bubur yang sudah dingin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Ujung Rumput dalam Lumpur
Teen FictionIni tentang posisi yang selalu membuat orang lain iri. Yang katanya, posisi ini adalah impian semua orang, karena yang paling berpotensi untuk mendapat banyak afeksi. Si bungsu. Yang kata orang-orang adalah anak manja dan anak yang paling mungkin...