34. Bersama Kelabu yang Membeku

5.4K 465 79
                                    

Saga berharap bahwa semua ini hanya mimpi, bahwa semua akan berlalu ketika dirinya terbangun kelak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saga berharap bahwa semua ini hanya mimpi, bahwa semua akan berlalu ketika dirinya terbangun kelak. Namun, begitu Saga menampar pipinya sendiri dengan kuat, dan rasa sakit itu perlahan semakin terasa, apa yang nampak di depan matanya, masih sama. Gedung tua itu hancur dengan kobaran api yang mulai melahap habis bagian-bagian gedung yang lainnya.

Tubuh cowok itu bergetar kuat, seraya tangannya memeluk erat kain berwarna biru yang beberapa saat lalu masih bersih tanpa noda darah dan debu. Kini, kain itu telah hampir berubah warna menjadi cokelat, akibat noda darah yang kini bercampur dengan debu ketika kain itu sempat terjatuh dari tangan Saga.

Suara langkah kaki di belakang terdengar bersahutan, namun tak mampu membuat Saga bergerak dari posisinya. Bahkan saat seseorang membawa tubuhnya ke dalam pelukan, arah tatapan Saga tak juga beralih. Bagaimana bising orang-orang yang berusaha memadamkan api, dan orang-orang yang bertanya tentang keadannya, Saga tak mampu menangkap itu semua.

Karena kini, pikirannya hanya menjurus ke satu orang. Oma.

"Hei, ini Ayah, Dek. Ini Ayah, coba lihat Ayah." Bahkan Ilham tidak lagi bisa menyembunyikan suara bergetar nya ketika melihat penampilan Saga. "Jangan takut ... Ayah di sini, Dek." Kembali mengeratkan pelukan, Ilham berharap bahwa Saga akan membuka suara, setidaknya hanya satu kata, itu sudah cukup baginya.

"Yah, Oma nggak ada!!" Javvas datang dengan napas terengah sekaligus bercampur panik. Cowok itu bahkan hampir nekat memasuki gedung yang kini benar-benar habis terlalap api. "Aku nggak bisa menemukan Oma, Yah."

"Coba Abang cari—"

"Oma nggak ada. O-Oma di dalam, Oma nggak ada ...," racauan Saga menghentikan kalimat yang akan Ilham tuturkan. Sontak saja, pandangan Ilham dan Javvas kini sepenuhnya beralih pada Saga.

"Adek bilang apa? Kamu tau dimana Oma? Coba bicara pelan-pelan, jangan takut ...," Kini Ilham menangkup wajah putih Saga yang kotor dengan bercak darah dan debu. "Bilang pelan-pelan sama Ayah, nggak ada siapa-siapa di sini. Percaya sama Ayah, 'kan?"

Saga mengangguk berkali-kali. Binar mata itu nampak ketakutan. "Oma tadi di dalam. Terus ... terus Oma paksa lepas rompi itu. Oma dorong aku keluar, aku ... aku nggak tau lagi. Di sana, Yah, di sana ... gedung itu meledak nggak lama. Aku—"

"Oke, oke, Ayah paham." Buru-buru Ilham menarik kembali tubuh bergetar itu ke dalam pelukan.

"Yah! Oma, Oma yang nyelamatin aku." Kalimat dari Saga itu, mau tak mau membuat Javvas dan Ilham mematung. "Oma masih di dalam. Oma nggak ada, Yah. Oma yang nyelamatin aku ...," Kacau, Saga merutuki dirinya sendiri yang tak mampu menjelaskan.

"Maksud Adek, Oma di dalam? Oma ... yang menahan bom itu untuk Adek?" tanya Ilham, ragu. Berharap bahwa Saga akan menyangkal pertanyaannya.

Namun, melihat Saga yang justru mengangguk kuat-kuat, runtuh sudah pertahanan Ilham. Laki-laki itu merasa seluruh tubuhnya lemas, sampai tak mampu lagi untuk berdiri. Javvas mendekat, untuk membantu sang ayah berdiri. Javvas juga masih berusaha untuk menyangkal ucapan Saga barusan.

|✔| Ujung Rumput dalam LumpurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang