Mungkin lebih tepatnya, itu terjadi dua puluh tahun yang lalu. Nasa tidak begitu mengingat kejadiannya dengan jelas, namun Nasa masih ingat sedikit bagaimana dulu ketidaksukaan itu hadir kala Gilsam kecil datang ke rumah nya. Ketika sang ibu mengatakan bahwa Gilsam akan menjadi adiknya yang lain. Bagi seorang anak sulung, semuanya terasa berat. Banyak tuntutan dari sang ibu yang membuat Nasa muak.
Sampai Nasa tidak sadar, kapan lebih tepatnya dirinya mulai menjadikan Gilsam sebagai pelampiasan. Diam-diam, dan tanpa diketahui oleh orang lain, terutama ibunya, setiap kali Nasa mulai lelah dengan semua jadwal bimbingan, Nasa akan mencari Gilsam. Bukan untuk menyuruh anak itu mengerjakan tugas-tugasnya, melainkan untuk dirinya jadikan samsak yang siap menerima semua lelah dan emosi nya.
"Jangan nangis! Gara-gara kamu, Ibu lebih banyak nuntut aku untuk jadi anak yang baik, dan kakak yang baik. Aku capek, kamu tau nggak?!" Nasa, tujuh belas tahun, baru saja melayangkan pukulannya pada bocah berusia tiga belas tahun, yang kini sedang meringkuk ketakutan di pojok dinding kamar.
"Semua gara-gara kamu! Aku capek harus bimbingan dan belajar ini-itu! Belum lagi harus ikut ngebantuin Ibu mengerjakan pekerjaan kantor! Kalau kamu, Fajar, dan Ilham yang berbuat salah, orang pertama yang bakal di tegur pasti aku!! Capek aku, Gilsam!!"
Kali ini tendangan brutal yang Nasa layangkan pada perut kiri Gilsam. Anak laki-laki itu hanya kembali meringkuk dengan memeluk tubuhnya sendiri. Sesekali terdengar isakan yang menyayat hati. Namun, emosi dan rasa lelah menulikan telinga Nasa. Yang lebih tua tidak berhenti untuk terus memukul tubuh kurus dan kecil itu.
"A-Ampun ... Mas. Aku minta maaf. Nanti aku bilang sama Ibu, untuk pulangin aku lagi ke sana. Aku janji. Jangan di pukul lagi aku-nya." Dengan sedikit keberanian, Gilsam membuka suara. Menatap takut-takut ke arah yang lebih tua.
Mendengar itu, Nasa kemudian berjongkok dan meraih wajah adiknya. Memaksa anak itu agar mendongak. "Mau cari mati, hah?! Dengan kamu yang bilang seperti itu, justru aku yang bakal di marahi habis-habisan! Seneng ya kamu, kalau aku di marahi sama Ibu?!"
"Enggak, enggak!!" Gilsam menggelengkan kepala dengan panik. "Aku nggak suka ... aku nggak mau kalau Mas di marahi sama Ibu." Kembali terisak lagi. Kedua bola mata hitam kelam itu menyorot ketakutan.
"Diam makanya! Kamu itu cuma anak pungut! Kamu bukan siapa-siapa di sini! Jadi jangan berani-beraninya bikin masalah sama aku! Ngerti, kamu?!"
"Iya Mas, ngerti ...,"
"Bagus!" Puas dengan jawaban yang Gilsam berikan, kini Nasa kembali berdiri lalu berjalan keluar dari kamar si bungsu. Mengabaikan bagaimana anak itu perlahan bangkit dengan tubuhnya yang penuh memar. Nasa tidak pernah melukai wajahnya, karena Nasa tahu, jika melukai di bagian wajah pasti akan langsung ketahuan oleh ibunya. Maka dari itu, Nasa hanya akan meninggalkan luka di bagian-bagian tubuh Gilsam yang tidak akan terlihat. Seperti di bagian punggung, perut, dan dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Ujung Rumput dalam Lumpur
Teen FictionIni tentang posisi yang selalu membuat orang lain iri. Yang katanya, posisi ini adalah impian semua orang, karena yang paling berpotensi untuk mendapat banyak afeksi. Si bungsu. Yang kata orang-orang adalah anak manja dan anak yang paling mungkin...