Kemarahan Javvas belum reda, saat ia mendapat kabar bahwa Saga sudah berada di rumah. Sore tadi, anak itu meminta pulang begitu saja. Karena Aksa sendiri pun tidak bisa menolak, berakhir memberikan ijin kepada Saga, tentu dengan beberapa pertimbangan juga.
Melihat anak itu yang kini duduk di balkon kamar nya, tanpa memakai jaket atau pun pakaian hangat, padahal hujan baru saja berhenti beberapa saat lalu, membuat Javvas semakin geram. Namun Javvas berusaha menahan diri, takut akan kembali melukai Saga.
"Kenapa berdiri di sana? Lo mau marah, Bang?" celetuk Saga tanpa menoleh ke belakang. Dari aroma parfum Javvas, Saga tahu, jika cowok itu sudah berdiri di sana sejak lama. "Gue nggak suka tinggal di rumah sakit lama-lama. Lo juga tahu itu, 'kan? Lagian, gue udah nggak kenapa-kenapa."
Mendengar itu, Javvas menghembuskan napas panjang. Meraih selimut Saga yang tergeletak begitu saja di atas kasur, Javvas kemudian mendekat. Membungkus tubuh kurus itu menggunakan selimut. Setelahnya, Javvas mengambil tempat di sebelah Saga.
"Lo tahu, nggak, apa yang Mas Aska bilang ke gue?"
"Enggak."
"Ga, sekarang semuanya udah nggak seperti dulu lagi. Paru-paru lo, nggak sekuat dulu lagi. Itu kenapa seharusnya lo masih dalam perawatan sekarang."
"Itu ... itu beneran?" Saga menatap takut ke arah yang lebih tua. Dua bulan lalu, rasa sakit di dada nya memang terasa berbeda. Ia pikir, itu karena dirinya yang hanya kelelahan. Namun siapa sangka, akan separah ini?
"Nggak ada guna nya, 'kan, kalau gue bohong? Dan untuk apa gue bohong?" Tatapan Javvas jatuh ke halaman rumah. Memandang daun dan bunga yang basah karena hujan. "Bunda sama Ayah belum tahu. Rencananya gue—"
"Jangan!!" Dengan napas memburu, Saga menyela. "Jangan bilang ke Ayah sama Bunda, gue mohon. Cukup selama ini gue jadi anak yang nggak berguna di depan mereka, tolong jangan lagi. Bang, gue mohon ...,"
"Gila lo!!" sentak Javvas. Kini menatap adiknya tidak percaya. "Masalah ini serius, Saga. Bunda sama Ayah harus tahu. Gue bahkan nggak bisa apa-apa."
"Enggak!" Saga menggeleng kuat-kuat. "Lo nggak harus ngelakuin apa-apa, Bang. Nggak harus. Cukup lo diem, dan biarin semuanya berjalan dengan semestinya. Itu aja yang perlu lo lakuin."
Rahang wajah Javvas mengeras. "Otak lo di mana, Ga?! Ketinggalan di rumah sakit? Atau memang lo nggak punya otak?! Lo udah se-pasrah ini sama hidup lo sendiri?!"
Terdiam beberapa detik, setelahnya, Saga justru tertawa. "Bang ... lo pernah, nggak, ada di posisi antara hidup tapi sakit, atau mati tapi belum siap?" Keterdiaman Javvas membuat Saga kembali melanjutkan kalimat nya. "Gue selalu ada di posisi itu. Takut banget rasanya ...," Lalu Saga memeluk tubuh nya sendiri, menenggelamkan wajah nya pada lipatan di antara lutut.
Sekarang Javvas paham. Ada beberapa hal yang membuat Saga terkadang berpikir untuk menyerah saja. Melirik pada punggung Saga yang tertutup selimut, Javvas menghela napas lalu melingkarkan tangan nya untuk merangkul yang lebih muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Ujung Rumput dalam Lumpur
Teen FictionIni tentang posisi yang selalu membuat orang lain iri. Yang katanya, posisi ini adalah impian semua orang, karena yang paling berpotensi untuk mendapat banyak afeksi. Si bungsu. Yang kata orang-orang adalah anak manja dan anak yang paling mungkin...