16. Mengutarakan

6.9K 614 18
                                    

"Tadi Pak Nadir telepon Ayah, kata beliau kamu bolos dari jam istirahat kedua? Benar?" Dengan wajah datar, Ilham bertanya pada Saga yang baru saja sampai di rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tadi Pak Nadir telepon Ayah, kata beliau kamu bolos dari jam istirahat kedua? Benar?" Dengan wajah datar, Ilham bertanya pada Saga yang baru saja sampai di rumah. Bahkan kening Saga masih berkeringat, selepas berlari ke arah rumah nya.

Napas Saga terdengar berat, juga dengan dadanya yang naik-turun tidak beraturan. Namun, Saga tetap melontarkan balasan. "Iya. Maaf, Yah ...,"

"Bosen Ayah denger maaf kamu terus. Katanya mau berubah, tapi apa? Laki-laki itu harusnya bisa memegang kata-katanya sendiri, Saga. Muak sekali Ayah lihat kamu."

Saga semakin menunduk dalam. "Maaf ...,"

"Maaf kamu bisa mengembalikan semuanya? Maaf kamu bisa membuat keluarga kita nggak malu lagi? Inget, dulu awal-awal kamu kelas sepuluh, kamu sempat di tangkap polisi karena terlibat tawuran yang menewaskan salah satu teman kamu. Ingat?!"

Bayangan kelam itu terpaksa Saga ingat lagi. Kejadian yang ingin sekali Saga lupakan untuk selamanya. Melihat bagaimana salah satu teman nya tergeletak tak berdaya setelah di serang oleh anak-anak dari sekolah lain. Dan di saat itu, ia bahkan tidak mampu untuk membantu.

Ilham yang semula duduk di sofa, kini berdiri. Lalu berjalan pelan ke arah Saga yang masih menundukkan kepala. Tanpa aba-aba, Ilham meraih tangan putih Saga, dan mencengkram nya erat.

"Ayah nggak tahu kamu kenapa jadi seperti ini, Saga. Belum cukup membuat wajah Ayah tercoreng, karena semua polisi di sana adalah teman Ayah, sekarang kamu berbuat malu dengan bolos sekolah? Kamu tau, 'kan, kalau Ayah sama Bunda jadi donatur tetap di sekolah kamu? Seolah Ayah memanfaatkan posisi Ayah itu untuk membuat kamu tetap bertahan di sekolah itu. Padahal, Ayah juga muak! Kalau bisa, kamu pergi dari hidup Ayah saja, Saga!"

"Tujuh belas tahun, aku selalu cari apa yang Abang dapet, tapi nggak aku dapet, Yah." Akhirnya, Saga memberanikan diri membuka suara, juga menatap lekat mata sang ayah. Mengabaikan tangan nya yang kini mulai mati rasa. "Untuk hal-hal kecil yang Abang capai, Ayah selalu kasih apresiasi ke dia. Kalau Abang dapat nilai tujuh puluh, Ayah nggak marah. Ayah kasih semangat ke Abang, bahkan muji-muji Abang karena hebat dapat nilai tujuh puluh. Lalu aku? Ayah bahkan kurung aku di gudang hanya karena aku dapat nilai tujuh puluh lima di pelajaran matematika."

Sejenak, ada jeda yang Saga ciptakan. Beberapa detik, hanya terisi bagaimana suara napas Saga yang memburu. "Aku nggak pernah di bilang hebat, di bilang pinter. Bahkan aku nggak pernah dapet apresiasi sekecil apa pun dari Ayah sama Bunda. Aku selalu bertanya-tanya, sebenernya aku ini anak kalian atau bukan? Sebenernya aku ini adik kembar Abang atau bukan? Kenapa rasanya, aku bahkan selalu salah di mata Ayah. Aku di bilang pemalas, padahal Ayah nggak pernah tahu kalau aku juga udah bekerja keras selama ini. Aku selalu tidur jam 2 pagi, hanya untuk belajar, Yah. Untuk buktiin ke Ayah kalau aku layak jadi anak nya Ayah."

Perlahan, Ilham mengendurkan cengkeraman nya pada Saga. Kalimat panjang di sertai air mata milik Saga membuat Ilham telak bungkam. Mungkin selama ini, orang-orang selalu menilainya sebagai sosok yang tegas dan berwibawa. Ilham itu, paling menyukai kesempurnaan. Apa pun dalam hidup nya, harus sempurna.

|✔| Ujung Rumput dalam LumpurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang