Setelah ribuan kali ragu, akhirnya Javvas tetap menyusul langkah Dimas yang tengah memasuki ruangan yang dia sendiri tidak tahu sejak kapan ruang kosong ini bisa di masuki. Masuk lebih dalam, Javvas hanya bisa melihat tumpukan kursi dan meja yang sudah tidak terpakai, serta ada beberapa tumpukan buku yang sepertinya sudah bertahun-tahun ada di sini.
"Ini gudang yang dulu nya masih dijadiin penyimpanan alat-alat olahraga. Tapi waktu gedung baru jadi, ruangan ini dialih fungsikan jadi gudang." ucap Dimas membuka suara. Tanpa menatap Javvas yang terlihat masih kebingungan di sana. "Sini, Jav." Lagi, suara Dimas terdengar. Lalu tanpa diperintah dia kali, Javvas berjalan mendekat dan berdiri di samping Dimas.
"Masih ada ruangan lagi di dalem sini. Di balik pintu itu, Saga suka sendirian di sana. Mungkin lo nggak tau, tapi gue tau, karena gue pernah sekali ngikutin dia diem-diem." Berhenti, kini Dimas menoleh pada Javvas. "Mau masuk?"
Sejujurnya Javvas ragu, namun rasa penasarannya jauh lebih mendominasi saat ini. Jadi, akhirnya Javvas perlahan membiarkan Dimas membuka pintu itu. Terlihat hanya sebuah ruangan kecil, tanpa ada apapun di dalamnya. Hanya saja, lantai nya terlihat lebih bersih di bandingkan lantai yang saat ini dirinya pijak. Melihat itu, Javvas semakin yakin jika perkataan Dimas memang benar.
"Duduk, Jav, gue mau cerita sesuatu." Dimas sudah duduk di atas lantai, dan meminta agar temannya tersebut mengikutinya. Setelah melihat Javvas mengambil tempat tepat di sebelahnya, Dimas kembali bersuara. "Jujur gue juga nggak tau apa yang biasanya Saga lakuin di sini. Tapi, yang pasti, setiap kali anak itu habis di ganggu atau habis tawuran, dia pasti ke sini dibanding harus pergi ke UKS. Gue pernah sekali, nggak sengaja lihat Saga dibentak sama beberapa anak cewek PMR. Dan bodohnya lagi, gue cuma bisa diem, Jav, gue nggak bisa lakuin apa-apa. Kejadian nya waktu kita masih kelas 10, mungkin karena kejadian itu, Saga jadi segan mau dateng ke UKS."
Dunia seolah hening, hanya menyisakan suara Dimas yang kini menusuk rungu. Javvas bungkam, membiarkan Dimas menyelesaikan semua kata-kata nya. "Dia nggak pernah punya temen, Jav. Makanya gue selalu berusaha deketin dia, gue pengen jadi temennya. Tapi Saga itu ... susah, dia jauh, dia nggak bisa gue gapai. Sampai akhirnya, gue cuma bisa pantau dia dari jauh. Gue tau, Jendral sering banget manfaatin Saga, Jendral itu dulu benci banget sama Saga. Bahkan anak-anak geng-nya Jendral juga nggak sekali dua kali bikin Saga hampir mati dikeroyok waktu mereka tawuran. Entah Saga itu bodoh atau apa, gue juga nggak ngerti, tapi dia tetep keras kepala mau jadi temennya Jendral. Sampe gue tau apa alesan Saga bisa jadi sekeras kepala ini. Lo mau tau?"
Butuh waktu beberapa detik, sampai akhirnya Dimas melihat Javvas mengangguk pelan. Kemudian, Dimas melanjutkan, "Karena Saga pikir, kalau dia bisa jadi temennya Jendral, Jendral pasti bakal ngelindungin dia. Orang-orang yang dulu suka gangguin bahkan bully dia nggak akan berani lagi, kalau seandainya dia berhasil gabung jadi bagian geng-nya Jendral."
Javvas merasa lidah nya kelu. Menyimak semua cerita Dimas hanya membuat sakit yang sudah semula ada, kini terasa semakin perih. Seolah ada yang sengaja menabur sesuatu di atas lukanya yang masih terbuka. Menundukkan kepala, Javvas tidak menyangka jika selama ini Saga selalu ingin menjadi teman Jendral karena ingin mencari sebuah perlindungan. Anak itu lelah, dan hanya melihat sebuah harapan pada Jendral yang pasti mampu membuat orang-orang takut untuk mengganggu nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Ujung Rumput dalam Lumpur
Teen FictionIni tentang posisi yang selalu membuat orang lain iri. Yang katanya, posisi ini adalah impian semua orang, karena yang paling berpotensi untuk mendapat banyak afeksi. Si bungsu. Yang kata orang-orang adalah anak manja dan anak yang paling mungkin...