Matahari begitu menyorot dengan terang, saat Javvas baru saja membuka mata. Merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku, karena semalaman harus tidur di sofa, kini Javvas mulai beranjak menuju jendela. Menyibak gorden, hingga sinar matahari itu tepat menyakiti mata nya.
Lalu, Javvas beralih menatap sosok yang masih terlelap nyaman di ranjang pesakitan itu. Seolah tidak terganggu sama sekali dengan sinar matahari yang menyorot wajahnya. Padahal, yang Javvas tahu, Saga juga benci panas. Anak itu akan betah memakai hoodie kemana pun, asalkan kulitnya terlindung dari sinar UV yang menyengat.
"Selamat pagi, pangeran tidur. Lo nggak mau bangun, Ga? Hari ini cuaca cerah banget. Gue punya satu cerita buat lo." Tanpa memperdulikan penampilannya yang baru saja bangun, Javvas menarik kursi lalu duduk di samping ranjang Saga. "Gue di diskualifikasi, Ga. Mungkin untuk tahun depan, sampe gue lulus nanti, gue nggak bisa mewakili sekolah lagi. Terus, gue juga mundur dari semua perlombaan. Untuk tahun ini, gue bener-bener free. Nggak ada jadwal apa pun. Gimana? Ini 'kan yang lo tunggu?"
Meraih tangan Saga, Javvas memainkan jemari panjang itu. "Oiya, waktu itu juga gue pernah janji sama lo, kalau gue akan ajak lo ke suatu tempat. Lo masih inget, nggak? Masih, 'kan? Makanya buruan bangun, terus ikut gue ke sana. Tempat itu cuma gue yang tau soalnya."
Waktu dimana Javvas menelepon Ilham dengan tangis yang pecah, saat itu kondisi Saga tiba-tiba menurun. Dua jam, Dokter Arman dan Aska berjuang untuk menyelamatkan Saga dari gerbang kematian. Kala itu, adalah mimpi buruk kesekian kalinya bagi Javvas.
Namun kini, setelah tiga hari pasca operasi, kondisi Saga sudah baik-baik saja. Dokter Arman juga mengatakan, bahwa tidak ada komplikasi yang terjadi setelah operasi. Walau pun paru-paru Saga tidak sembuh seratus persen, dan masih harus bergantung pada benda kecil itu, hanya saja kini sudah lebih baik.
Tiba-tiba, Javvas merasakan bahwa tangan yang berada di dalam genggamannya bergerak. Melihat itu, Javvas tidak bisa untuk tidak mengulas senyuman. Ia tahu, Saga mendengar semua kalimatnya.
"Iya, iya, gue nggak akan ninggalin lo. Gue di sini, Ga, gue nggak akan pergi lagi."
"Lho, Abang sudah bangun?" tanya Liza, yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat Saga, sembari membawa beberapa paper bag, dan tas kecil berisi pakaian Javvas. "Sarapan dulu, Bang. Bunda buatin sayur lodeh kesukaan kamu."
Situasi antara Javvas dan Liza tidak secanggu itu. Karena Javvas tidak bisa menyalahkan semuanya kepada sang bunda. Mereka sama saja, sama-sama seseorang yang menjadi sumber luka untuk Saga. "Oke! Aku mandi dulu sebentar, Bund."
Tersenyum teduh, Liza menganggukkan kepala. Membiarkan si sulung kini beranjak ke arah kamar mandi. Setelah sosok Javvas menghilang, Liza mendekat ke arah Saga. Menepati kursi yang semula di pakai oleh Javvas.
Kemudian Liza meraih tangan Saga. "Bunda potongin kuku Adek dulu, ya. Sudah terlalu panjang." ucap Liza, yang kini fokus memotong kuku Saga satu per satu. "Kuku Adek cantik, jari nya juga panjang. Persis seperti tangan Bunda. Bunda baru sadar, lho ...," Yang dirinya ucapkan sepenuhnya tidak berbohong, jemari panjang Saga memang terlihat persis seperti miliknya, dan sayangnya, dirinya baru menyadari itu sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Ujung Rumput dalam Lumpur
Teen FictionIni tentang posisi yang selalu membuat orang lain iri. Yang katanya, posisi ini adalah impian semua orang, karena yang paling berpotensi untuk mendapat banyak afeksi. Si bungsu. Yang kata orang-orang adalah anak manja dan anak yang paling mungkin...