10. Ruang yang Sepi

6.8K 584 25
                                    

Orang-orang mungkin selalu mengira, bahwa si kembar memiliki banyak kesamaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Orang-orang mungkin selalu mengira, bahwa si kembar memiliki banyak kesamaan. Seolah mereka tidak boleh berbeda. Padahal, kembar tetap seorang individu yang berbeda. Sifat mereka terkadang bisa bertolak belakang. Bisa juga saling bertentangan.

Menjadi kembar, tidak selamanya memilih jalan yang sama. Memakai pakaian yang sama, menyukai makanan dan warna yang sama, bahkan memiliki kebiasaan buruk dan baik yang sama. Tidak. Tidak selamanya kembar memiliki kepribadian seperti itu.

Saga membuktikan nya.

Sampai pukul sepuluh malam, Javvas belum juga kembali, dan Saga menyerah untuk menunggu. Berkali-kali ia melakukan panggilan kepada Javvas, namun berakhir sang operator yang menjawab. Lelah, Saga pada akhirnya memilih untuk membiarkan pertanyaan yang ingin sekali ia tanyakan pada Javvas, tertelan kembali ke tenggorokan.

Ruangan ini sangat sepi tanpa kehadiran Javvas.

Mungkin memang, ia yang terlalu berharap. Nyatanya, semua tetap sama. Dirinya tetap di tinggalkan, tanpa kata, tanpa penjelasan yang membuatnya mengerti.

Saga meletakkan lengannya untuk menutup mata. Bayangan saat usianya masih delapan tahun, kini berputar kembali. Saat itu, sore hari, di taman kota yang ramai. Ia dan bunda pergi untuk melihat senja dan juga danau buatan yang baru selesai di buat.

Indah. Sore itu sangat indah. Bahkan sejak saat itu, Saga merasa dirinya jatuh cinta pada gores jingga di angkasa.

Bayangan indah itu berubah menjadi mimpi buruk dalam hitungan detik. Pegangan tangannya di lepas oleh bunda. Pada saat itu, bunda berkata akan mencari kamar mandi, karena tak tahan ingin buang air kecil. Ia menurut saat diminta untuk menunggu di kursi taman.

Namun, sampai senja hampir habis, dan langit berubah kelam, bunda tidak juga datang. Taman mulai sepi, karena orang-orang mulai beranjak pulang. Tubuh kecilnya kedinginan, juga ketakutan.

Air mata itu akhirnya tumpah ruah. Ia yang berusia delapan tahun, menangis memanggil nama bunda. Meminta bunda datang dan segera membawanya pulang.

Tangisan itu hanya menjadi tontonan bagi orang-orang. Tidak ada satu pun yang berniat untuk menolong. Bahkan sebagian dari mereka memilih abai, dengan terus membawa langkah nya pergi dari area taman.

Senja yang indah, berubah menjadi malam kelam yang menakutkan.

Kenangan itu bahkan tidak bisa Saga lupakan, setelah bertahun-tahun lamanya. Kejadian itu terus melekat dalam dirinya. Trauma untuk di tinggalkan, trauma pada kegelapan, trauma pada keramaian. Bunda berhasil meninggalkan semua trauma itu di dalam dirinya.

Dan setelah ia berhasil pulang, bukan peluk hangat dari ayah yang khawatir padanya, melainkan amarah laki-laki itu yang mengatakan, bahwa ia hanya bisa merepotkan. Hanya tahu cara membuat masalah dan membuat orang lain susah.

Tangisannya bahkan belum reda, saat itu. Tapi tangan besar ayah memukul nya, menciptakan luka baru di tubuh nya yang sudah rapuh. Berakhir, luka itu ia simpan sampai dewasa. Rasa sakit hatinya menjadi bernanah, dan sulit memaafkan.

|✔| Ujung Rumput dalam LumpurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang