"Jangan manja, deh! Jangan kambuh sekarang, bisa?!" Saga memaki dirinya sendiri, sembari memukul dada nya berulang kali. Malam sudah hampir larut, sekarang pukul 11, dan Saga belum bisa juga meredakan sesak yang membuatnya kepayahan sejak dua jam yang lalu.
Fokus nya bahkan buyar. Sederet angka matematika di buku paket miliknya kini bahkan tidak bisa mengalihkan rasa sakitnya. Tangan Saga meremat kuat pensil yang berada di dalam genggaman—sebagai bentuk pelampiasan dari rasa sakitnya saat ini.
Di ruangan yang hening itu, napas Saga terdengar memburu. Bukan Saga sengaja ingin membiarkan dirinya tersiksa, tentu saja bukan itu tujuan nya. Stok inhaler miliknya habis. Sedangkan ia tidak memiliki uang sama sekali. Kini Saga hanya bisa berharap pada takdir, bahwa semoga kematian nya tidak datang malam ini.
Di kala rasa frustasi dan sakit itu berkumpul menjadi satu, tiba-tiba ponsel nya berdering. Nama seseorang muncul di layar. Saga tersenyum tipis, buru-buru meraih ponsel nya, untuk menjawab panggilan tersebut.
"Bang ...,"
"Ga? Lo kenapa? Kenapa napas lo gitu?" Di seberang sana, Javvas terdengar panik.
"Tolongin, gue. T-Tolong bilang ke Ayah, gue butuh bantuan. Plis ...,"
"Tunggu! Gue telepon Ayah sekarang. Lo, lo jangan pingsan dulu! Lo masih denger gue, 'kan?!"
"Iya ...,"
Lalu sambungan telepon di matikan begitu saja oleh Javvas. Sekitar lima menit menit kemudian, pintu kamar nya terbuka agar kasar. Sosok Ilham dengan wajah dingin dan tatapan datar, melempar inhaler ke arah Saga yang kini bersandar pada ranjang.
"Nyusahin! Kalau tahu stok inhaler kamu habis, ya buruan beli! Kamu tahu, nggak, Abang kamu marah-marah tadi sama Ayah! Nyusahin aja bisanya kamu tuh!"
Untuk saat ini Saga mengabaikan kata-kata ayah. Dengan brutal, Saga menghirup benda tersebut. Selama beberapa detik, Saga merasa hanya ada rasa panas di dada nya, sebelum napas nya kembali normal seperti biasa. Itu membuatnya lega.
"Maaf, Ayah ...," Masih dalam posisi yang sama, Saga hanya menatap sang ayah dengan pandangan sayu. Dua jam bergelut dengan rasa sesak itu, sungguh menghabiskan seluruh tenaga nya.
Ilham berjalan mendekat. Melirik sedikit ke arah meja belajar si bungsu yang berantakan. Buku-buku sudah jatuh ke lantai, begitu juga dengan pensil dan pena yang berceceran di dekatnya.
"Kamu seneng, ya, lihat Abang jadi kurang ajar sama Ayah dan Bunda? Setiap menyangkut kamu, Abang jadi sosok anak yang pembangkang, suka melawan, dan keras kepala. Kenapa, sih, Saga? Kenapa kamu buat putra kebanggaan Ayah menjadi seperti ini?"
Jika boleh jujur, Saga sudah tidak mampu untuk terus terjaga. Saga pikir, setelah memberikan benda itu, ayah nya akan pergi. Tetapi mengapa justru ayah mengatakan hal menyakitkan seperti itu? Apakah ia hanya benalu di hidup kakak nya?
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Ujung Rumput dalam Lumpur
Teen FictionIni tentang posisi yang selalu membuat orang lain iri. Yang katanya, posisi ini adalah impian semua orang, karena yang paling berpotensi untuk mendapat banyak afeksi. Si bungsu. Yang kata orang-orang adalah anak manja dan anak yang paling mungkin...