4. Menawarkan Kehangatan

8K 645 13
                                    

Liza cukup bingung menatap si sulung dan si bungsu yang sejak tadi hanya terdiam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Liza cukup bingung menatap si sulung dan si bungsu yang sejak tadi hanya terdiam. Malam ini, karena Ilham harus menghadiri suatu acara di Lombok, jadi Ilham tidak ikut makan malam. Hanya Liza yang berada di rumah, untuk menemani kedua putranya.

Dan makan malam ini, Liza merasa bahwa ada yang aneh dengan si kembar. Tidak biasanya mereka saling diam, tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Tidak tahan dengan keheningan yang terjadi, akhirnya Liza memutuskan memulai obrolan. Si sulung adalah orang pertama yang menjadi tujuan. "Bang, gimana sekolah kamu hari ini?"

Javvas yang sejak tadi termenung tanpa menikmati makanan nya sama sekali, sontak terkejut mendapat pertanyaan yang begitu tiba-tiba dari sang bunda. "Sekolah aku? Kayak biasa. Rapat, belajar, rapat lagi."

Mendengar itu, Liza tertawa. "Sabar, ya. Tapi Abang hebat, lho, pinter handle semua nya. Sifat-sifat pemimpin punya Ayah, bener-bener hidup di dalam diri Abang. Keren!"

"Tapi capek, Bund."

"Ya nggak pa-pa, wajar. Nanti kapan lagi coba disibukkan sama urusan OSIS? Nggak lama lagi, Abang nakal naik ke kelas dua belas, dan otomatis jabatan itu bakal Abang lepas, 'kan? Sekarang nikmati aja semua prosesnya. Oke, Bang?"

"Hm, oke, Bund." Meletakkan sendok nya, Javvas menatap sang bunda lekat. "Malam ini, aku ijin ke luar boleh nggak?"

"Mau kemana, Bang?"

"Pergi, sebentar aja kok. Nanti jam sembilan Abang janji udah pulang. Boleh, ya, Bund?"

Liza tampak berpikir sejenak, sebelum memutuskan untuk mengangguk. Lagi pula, Javvas itu bisa dipercaya. Jika Javvas mengatakan akan pulang jam sembilan, maka anak itu benar-benar akan sampai di rumah jam sembilan. Jadi, Liza berusaha menenangkan diri agar tidak terlalu khawatir.

Kini beralih pada si bungsu yang hanya terdiam sembari mengaduk makanan nya. Bahkan setelah lima belas menit mereka di sini, makanan di piring Saga masih terlihat utuh.

"Dek, kok nggak di makan? Kenapa?"

Saga tahu pertanyaan itu untuknya, namun tanpa menatap sang lawan bicara, Saga membalas. "Nggak pa-pa, Bund. Nanti aku makan. Sekarang belum nafsu."

Terdengar decakan kesal dari Liza. "Nggak boleh gitu tau, Dek. Harusnya kita bersyukur, masih bisa makan makanan enak. Jangan di mainin gitu makanannya. Kalau memang dari awal nggak mau makan, jangan makan, Dek. Bunda udah capek masak, lho, malah nggak kamu hargai."

Sejujurnya, bukan karena nafsu makan nya hilang, hanya saja, Saga terdiam sedari tadi karena berusaha menahan sesuatu di dalam dirinya. Sejak pulang sekolah tadi, dada nya sesak. Ini bukan sesak seperti biasanya. Sesak itu terasa mencekik, hingga membuatnya benar-benar kewalahan.

"Maaf, Bunda." Hanya itu jawaban yang bisa Saga berikan. Hanya untuk bicara saja, tenaga nya seolah terkuras habis. "Aku ijin ke kamar dulu."

"Dek!!" Namun bentakan bunda membuat Saga menghentikan niatnya yang baru saja hendak bangkit berdiri. "Makan! Kenapa sih? Di paksa aja, sayang banget itu makanan nya. Bunda sama Ayah nggak pernah ngajarin anak-anak kami untuk buang-buang makanan. Ayo, makan! Habisin! Bunda bakal tunggu di sini, sampai makanan kamu habis."

|✔| Ujung Rumput dalam LumpurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang