Signal

883 88 7
                                    

Zee melewati papanya yang sedang duduk didepan laptop di ruang tamu.

"Zee, darimana kamu?"

"Rumah mama."

"Kamu udah gak main bola lagi kan?"

"Engga pa."

"Bagus. Buat apa punya hobby gak guna ngorbanin kaki sampai cedera."

Zee hanya melihat papanya dengan tatapan marah dan sakit hati. Cita-citanya menjadi pemain bola profesional tidak pernah mendapat dukungan papanya. Papanya ingin zee fokus sekolah dan melanjutkan bisnisnya. Sampai saat zee mendapat cedera cukup serius di kakinya, papanya malah bersyukur akan hal itu.
Zee masih bisa bermain namun dengan waktu terbatas. Selama ini zee selalu di push oleh pelatihnya, bermain full time tanpa pergantian. Merasa diandalkan justru menjadi beban sendiri bagi zee, belum lagi zee harus melihat tatapan sinis teman satu timnya karena merasa tidak adil.
Dengan keputusan yang berat, zee berhenti dari sepak bola dan memilih futsal sebagai gantinya. Waktu bermain yang tidak terlalu lama dibanding sepak bola, cukup efisien untuk zee yang sedang dalam masa pemulihan.
Zee sudah mengubur cita-citanya. Dia hanya ingin terus menjalankan sesuatu yang sangat ia sukai sebagai hobby.
Namun lagi dan lagi, dia harus berhenti ekskul futsal setelah kejadian terakhir kali ia membuat keributan sampai di skorsing. Dia merasa tidak enak karena kehadirannya membuat latihan teman-temannya terhambat.

"Papa tau kamu di skorsing. Jangan anggap papa gak tahu apa-apa."

Zee menelan ludahnya.

"Untung bukan kamu yang mukul duluan dan gak perlu melibatkan komite disiplin."

"Dua bulan lagi ulangan. Gak perlu dateng ke rumah mamamu, papa udah bikin jadwal nanti guru les privatmu dateng ke rumah, hari libur juga."

"Zee bisa belajar sendiri pa."

"Kamu harus punya standar belajar. Kamu harus jaga nilaimu agar bisa masuk univ ternama di inggris."

"Kita udah bahas ini berulang kali pa. Zee gak mau kuliah ke luar negeri. Univ disini juga banyak yang bagus kok."

"Kamu nurunin sifat mamamu ya, ngeyel kalo dibilangin. Ini buat kebaikanmu."

"Kebaikan zee atau kebaikan papa? Dan jangan pernah bawa-bawa mama."

"Zee!" Papanya mulai naik pitam dan berdiri dari tempat duduknya.

"Toh zee cuma harus ngurus perusahaan papa kan? Ok fine, tapi jangan atur zee untuk hal yang lain." Kali ini zee berani menjawab papanya setelah sekian lama hanya diam.

Zee langsung masuk ke kamarnya, sejujurnya dia sedikit gemetar karena telah melawan papanya.
Dia mengambil air minum dikulkasnya dan ia habiskan satu botol air mineral dalam sekali minum. Lalu mengambil nafas panjang.
.
.
.

Dibawah terik matahari, zee berulangkali menendang bola dari kotak penalti. Entah sudah berapa banyak bola yang ia tendang sampai membuat keringatnya bercucuran.
Saat tak ada lagi bola yang bisa ditendangnya, dia menuju tempat duduk penonton, memakai earphone, merebahkan badannya, membuat tasnya sebagai bantalan, memainkan ponselnya lalu menyetel musik dari playlistnya.
Dia menghalangi silaunya sinar matahari dengan tangannya, mengatur nafas, lalu memejamkan matanya.

Marsha yang sudah mencari kak zee kemana-mana menemukannya sedang tiduran di tempat duduk penonton langsung berlari menghampiri.
Marsha memeriksa apakah zee benar-benar tidur, dia hanya bisa melihat rahangnya karena matanya tertutup dengan tangan. Marsha menyentuhnya dengan hati-hati, gestur wajah yang sempurna.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang