Lebih dekat

935 86 1
                                    

Zeeco terbangun dari tidurnya. Setelah drama perdebatan panjang semalam. Dia dimarahi mamanya karena muka penuh lebam, belum lagi harus mendengarkan cekcok orangtuanya di telepon karena zee akan menginap di rumah mamanya selama 2 minggu atau selama skorsing. Zee dan mamanya sepakat untuk merahasiakan kejadian ini dari papanya. Mamanya tidak tega melihat zee harus menghadapi papanya yang keras kepala.
Zee bangkit dari ranjang, menatap gambaran wajah bareface nya di kaca, mengecek setiap sudut luka yang masih terasa sakit. Dia pikir tidak akan bisa pergi keluar dengan wajah seperti ini, lalu memasang muka malas.
Setelah mencuci muka, dia keluar dari kamar memanggil mamanya.

"Maa.."

"Meeeoong."

"Maaa" sekali lagi dia memanggil dan mencari mamanya.

"Meong." Malah zee mendapat jawaban dari seekor kucing yang sedang rebahan di sofa dengan televisi lebar yang menyala.

Dengan cepat zee meraih kucing itu, menggendongnya seperti bayi.
"Pagi dino." "Gemaassshh"
Zee berjalan ke arah dapur dengan dino tetap dalam gendongannya.

"Pagi ma."

"Pagi zee" "pagi dino" sapa mamanya sambil mengulurkan tangan untuk mengelus dino.

"Wuushh" zee melindungi dino dari tangan mamanya sambil bilang "ini anakku"

Mamanya tersenyum mendengar perkataan zee. Zee adalah anak yang menggemaskan didepan mamanya. Sebesar apapun dia sekarang, dia tetap zeeco kecil dimata mamanya.

"Nanti diobati lagi ya, dikasih salep, plesternya juga diganti." Mamanya yang melihat luka zee ingin menyentuhnya, tentu saja langsung ditolak oleh zee.

"Mandi gih, terus sarapan. Di meja juga ada kue, tadi dikasih tetangga sebelah."

"Nanti aja deh mah, zee mau ajak dino jalan-jalan dulu."

"Kemana? Jangan jauh-jauh. Mukamu masih kaya gitu."

"Ke depan doang sebentar."
.
.
.


Rumah marsha
"Marsha bangun! Udah siang." Mamah marsha membuka gorden membuat sinar matahari memenuhi kamar marsha.
Sebenarnya marsha sudah bangun sejak tadi, namun dia asik scroll tiktok, enggan untuk meninggalkan kasurnya yang nyaman apalagi sekarang weekend seharusnya dia bangun lebih siang lagi setelah semalaman begadang nonton drama dan menggambar. Saat terdengar mamahnya membuka pintu kamar, dia langsung menutupi seluruh badannya dengan selimut pura-pura masih tidur ceritanya.

"Bangun!" Mamahnya menarik selimut marsha.

"Silau mah. Marsha masih ngantuk."

"Anak gadis jangan bangun kesiangan. Mandi, atau bantuin mamah masak."

"Iyaaa."

Meski sambil ngeluh, marsha tetap bantuin mamahnya masak. Sedikit bantuin sih lebih tepatnya, cuma ngupasin bawang itu aja udah nangis-nangis mata perih.

"Adek kemana mah? Gak keliatan."

"Main sepatu roda tuh di depan."

"Sama papah?"

"Sendiri. Papah pergi sepedaan sama teman-temannya."

"Ini udah ya mah." Marsha kabur sebelum disuruh lagi sama mamahnya.

Marsha keluar rumah mencari adiknya yang katanya sedang main sepatu roda, tapi tidak terlihat batang hidungnya. Dia mendekati pintu gerbang, terlihat samar-samar kalau adiknya sedang bersama seseorang. Marsha bergegas lari, dia berpikir itu mungkin penculik.
Terasa disambar petir, tidak ada angin atau pemberitahuan badai topan sebelumnya untuk bersiap-siap.
Seorang lelaki berdiri di selokan, dengan seekor kucing penuh lumpur ada di dekapaannya sedang ditonton oleh adiknya marsha yang memang anak kecil masih suka penasaran dengan banyak hal.
Seketika marsha berdiri tegang, dengan pajama selepas bangun tidur, serta muka polosnya itu tidak tahu harus kabur atau menanggapi seperti apa situasi ini.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang