.....
Jizan POV.
Mungkin itu foto terakhir saat kita tinggal bersama, setelahnya banyak kekacauan yang perlahan-lahan muncul dalam keluarga kita. Aku dan kamu sering merasa ketakutan bila mendengar suara barang pecah, mendengar suara bentakkan, dan hal-hal lain yang muncul secara tiba-tiba dan menakutkan.
Selama beberapa minggu ini, kita sedikit merasa tenang, karena suasana rumah tak lagi menegang, Bunda dan Ayah tak lagi terlihat bertengkar. Saat ini Bunda sibuk menjahit, sedangkan Ayah masih berada di kantor sibuk bekerja.
"Bang, aku nanti kalo udah gede, mau jadi spiderman. Biar bisa manjat gedung tinggii! dan tempelin jaring laba-laba superr!!" Ucapmu sembari memanjangkan kata terakhir dengan semangat.
Aku juga tak mau kalah, tapi aku juga penasaran dengan alasanmu. "Kenapa? Bukannya lebih keren kalo jadi Captain America?" Aku segera berlari mengambil mainanku yang Ayah berikan tahun lalu, sebuah tameng khas milik Captain America.
"Enggaa! Kalau jadi spiderman, aku bisa ikat Bunda sama Ayah.. Nanti, kalau Ayah, Bunda marahan, aku tempelin aja Ayah sama Bunda berduaa! Terus nanti marahannya ilang deh! Karena udah baikan!! Nanti ak-"
Kamu sangat semangat kala itu, namun suara barang pecah dari arah ruang tengah keluarga membuatmu terkejut, sama halnya denganku.
"KAMU BISA GAK SIH HARGAI AKU!!? AKU CUMAN MINTA SATU HAL, DAN ITU AJA KAMU GAK BISA KASIH KE AKU!" Itu Bunda, yang sedang menahan tangis sembari menatap Ayah kesal.
Kita berdua sama-sama takut, namun kita tetap saja mengintip dari balik pintu. Sebenarnya ini ideku, aku yang mengajakmu untuk melihat kekacauan itu. Kamu memang sudah melarangku beberapa kali, namun aku cukup keras kepala untuk menuruti ajakanmu.
"AKU UDAH BILANG, NANTI KITA BICARAKAN LAGI BAIK-BAIK, NAYLA. AKU MASIH KEKURANGAN UANG BUAT BELI BARANG ITU!"
Ayah membanting tas kerjanya kesembarang arah, sialnya tas itu berhenti tepat didepan pintu kamarku dan kamu.
Ayah menyadarinya, ia tahu kita berdua mengintip dengan mata berkaca-kaca, hati yang merasakan ketakutan luar biasa, juga jantung yang mulai tak karuan. Ayah melangkah membuka pintu kamar kami secara paksa, aku dan kamu berusaha sekuat mungkin menutupnya kembali dan berniat untuk bersembunyi, namun kekuatan yang kita miliki berdua tak mampu mengalahkan kekuatan orang dewasa seperti Ayah.
Saat pintu itu terbuka, yang pertama kali aku tangkap adalah tatapan kebencian Ayah padaku, aku tak mengerti mengapa Ayah bisa menunjukkan tatapan itu.Ayah sudah bersiap untuk melayangkan satu pukulan kearahku, namun ada yang mengalihkan fokusku dari tatapan Ayah, yaitu suara isakanmu yang memegangi pergelangan tanganku dengan kuat. Aku yang salah.
Belum sempat tamparan itu mendarat, Bunda sudah lebih dulu membentengi kami berdua, alhasil pipi Bunda lah yang terkena tamparan Ayah saat itu. Sontak saja, melihat Bunda yang mulai terisak, membuat kita menangis. Aku segera berlari dan memegangi telapak tangan Ayah yang bergetar hebat. Mungkin, Ayah sendiri tak ingin marah saat itu.
"Ayah maafkan Abang.."
"Ayah, jangan marah.." Lirihku bebrapa kali sembari menangis memegangi telapak tangan Ayah.
"HAAH, AYAH GAK SUKA KALIAN KEPO URUSAN ORANG LAIN!" Ayah melepas paksa genggaman tanganku, hati kecilku sedikit terluka. Hanya sedikit.
"DIAM KAMU, ANAK-ANAK IKUT AKU, MEREKA GAK PANTES TINGGAL BARENG KAMU, MAS!"
Bunda menarikku dari sisi Ayah dan membawaku masuk bersamamu kedalam kamar, Bunda mengunci kamar kita dengan cepat. Bunda segera mengambil koper besar dan mengisinya dengan baju-baju kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
FanfictionTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...