.....Siang ini seorang pemuda tengah memperhatikan seorang gadis yang tengah tertawa lepas ditaman dekat pohon tua yang besar dan rimbun, pemuda ini menatap lamat-lamat gadis itu, ia bukan seorang penguntit, ia justru 'mengenal gadis itu lebih dari siapapun'.
Tentu saja ini pengakuannya sendiri.
Ia juga mendengarkan beberapa kata yang terlontar dari bibir gadis yang tengah tersenyum manis diseberang sana.
"Haha, kamu tau Ji? Beberapa hari ini aku mulai merasa bebas, kalau diibaratkan, mungkin aku seperti burung yang terbebas dari sangkar."
"...,"
"Hm, kenapa ya? Mungkin sangkar itu seperti penjara."
Mata pemuda itu tampak tak suka, tapi kalau kalian melihatnya dengan teliti, sebenarnya sorot matanya menyiratkan rasa sedih yang mendalam.
"Seharusnya aku pulang lebih cepat."
Gumam pemuda itu, ia mengepalkan jarinya kuat-kuat dan akhirnya memilih melangkahkan kaki dan pergi dari taman itu.
Selama diperjalanan ia teringat tentang kasus yang pernah terjadi di taman yang ia datang tadi. Dua tahun lalu, dimana ada perkelahian kecil antar dua siswa SMA. Perkelahian kecil itu memantik api pada salah satu dari mereka, lalu terjadilah pembunuhan, kasus ini sampai melibatkan polisi, sayangnya pelaku pembunuhan tidak tertangkap, karena kurangnya bukti dan saksi ditempat kejadian.
Pemuda itu tersenyum setelah mendapati dirinya sampai ditempat yang ia tuju, rumah tempat ia tumbuh dan dibesarkan disana, ia merindukan setiap penghuninya, ia juga merindukan rumah, tempatnya berkeluh kesah, siapa lagi kalau bukan sang Ibu.
Ia mengetuk pelan pintu kayu yang sudah sedikit berubah dari pintu yang terakhir kali ia lihat, hatinya berdetak begitu kencang, ia membayangkan bagaimana reaksi anggota rumah ketika melihatnya pulang.
Ia tak sabar ingin memeluk sang ibu dan juga adiknya. Ingatannya berputar begitu saja, mengulang memori manis yang tersimpan rapi, ketika dirinya berlari sembari tertawa mengejar sang adik yang tak kalah bahagia, begitu juga senyuman Ibu yang tertuju untuknya.
"Bagaimana Mahendra bisa lupa tentang Ibu dan Aya, kalian adalah harta terindah yang pernah Allah berikan."
Di waktu yang bersamaan, pintu terbuka dan seorang gadis datang tepat dibelakangnya, memakirkan sepeda tanpa melepas pandangan.
"Mas?"
Ucap gadis itu ragu, berbeda dengan wanita paruh baya yang terdiam kaku dengan mata yang berkaca kaca setelah ia membuka pintu dan melihat siapa yang menunggu didepan pintu.
"Assalamu'alaikum.. Ibu, Aya, Mas pulang."
"Mas gak mau Aya pergi ke taman itu lagi! Karena setiap kamu kesana, penyakitmu itu semakin menjadi!"
"Kamu gak liat? Dia gak akan ada buatmu. Aya, Mas mau jadi kakak yang bisa kamu andalkan, kamu gak perlu ketemu orang itu!"
Pemuda yang mengaku dirinya sebagai 'Mas' itu duduk menatap adiknya yang tengah menahan air mata, sang ibu juga tidak mengucapkan sepatah katapun, ia hanya mengelus bahu dan menenangkan putrinya.
"Aya, bisa gak sih, kamu menaruh kepercayaan pada Mas-mu ini!?"
"Dengarkan Mas Mahen ya dek? Mas dan Ibu mau kamu sembuh." Ucap sang ibu yang masih setia mengelus bahu putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
FanfictionTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...