…..
Hanan POV
Dentuman kayu yang terjatuh terdengar begitu jelas digendang telingaku, membuat lamunanku pecah, mencari asal suara, namun aku tak bisa melihat apa-apa selain benda-benda disekitarku.
Kenapa diluar sana terdengar ada sedikit keributan? Apa Asa baik-baik saja? Jangan sampai Jendral mengkhianatinya, Asa pasti kecewa besar.
Aku kebingungan, disaat kondisiku yang tak bisa melakukan apa-apa, justru diluarsana seperti ada orang yang membutuhkan bantuan.
Tak lama setelah itu, kondisi kembali sunyi, sama seperti saat Asa meninggalkanku sendirian sebelumnya. Sejujurnya apa yang diinginkan Jendral dari Asa? Bukankah Asa tak memiliki hubungan dengan kasus sebelumnya? Ataukah ini adalah aksi balas dendamnya, karena Asa mempermalukan dirinya didepan publik? Pikirannya terlalu sulit untukku tebak seorang diri.
Karena kesepian, aku justru menyumpah serapahi diriku sendiri yang sangat bodoh ini, kalaulah saat itu aku tak mengambil lukisan itu, mungkin Asa dan aku akan duduk santai dirumah saat ini. Aya juga pasti memiliki keadaan yang jauh lebih baik dari saat ini.
Karena lukisan itu adalah jawaban dari perasaannya.
Harusnya aku tak perlu cemburu, aku tak boleh merusak tali pertemanan hanya karena keegoisanku. Tapi saat itu aku benar-benar buta, kenapa hanya lukisan itu yang aku ambil darinya? Mengapa aku tak menyelamatkannya?
Walaupun yang aku lihat saat itu hanyalah raga tak bernyawa, setidaknya aku membantunya untuk terakhir kali, juga menenangkan Aya.
Yang aku lakukan justru hal yang bodoh, aku justru mengamankan lukisan yang tak ada artinya bila kusimpan seorang diri.
"Gobl*k bet gue!! Ck, kenapasiih!? Giliran udah kayak gini baru nyesel!?"
Hanan POV end.
Satu buah kursi tak bersalah itu terlempar mengenai lantai villa yang begitu dingin, ia hancur menyisakan ujung-ujung lancip yang bisa kapan saja melukai sesuatu yang mengenainya.
"Lo gak perlu bohong! Lo ngeliat itu semua, kan? Kasus lima tahun lalu.. Lo satu-satunya saksi disana! Dan seharusnya gue tau hal itu lebih cepat, biar lo bisa nyusul sahabat tercinta lo itu!" Jendral membentak raga yang ia ikat dan tertutup sarung kepala itu.
Seringai dingin itu terlihat jelas oleh Asa, ia hampir saja kehabisan akalnya untuk menangani manusia gila didepannya ini. Sayangnya ia punya satu cara yang masih tersisa, namun ia tak yakin bahwa cara ini akan ampuh untuk hati yang terlanjur memiliki obsesi. Menghitung waktu yang tersisa begitu banyak, membuatnya mau tak mau harus mulai bicara, agar kejadian buruk tak terjadi lebih cepat.
"Jen! Dengerin gue! Aya gak tau apapun soal kasus itu!"
Yang dikatakan Asa memang benar, Aya tak tahu menahu tentang kasus yang dimaksud Jendral.
Tentu saja bukan itu kenyataannya, Aya hanya melupakan kunci kasus itu sejak empat tahun lalu. Saat dirinya begitu terpuruk dan tenggelam dalam kesedihan, yang hampir saja membawanya dalam jurang keputusasaan dan membawanya dalam kematian. Untunglah, kala itu Asa mendatanginya, tanpa tahu bahwa kalau ia terlambat sedikit saja, mungkin yang ia datangi adalah rumah berkibarkan bendera kuning didepannya.
"Lo gak perlu bohong, Sa. Gue cukup tau itu." Jendral berjalan santai kearah kursi yang ia lempar sebelumnya, menyeret salah satu bongkahan kayu yang ia rasa cukup tajam untuk menusuk kulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
Fiksi PenggemarTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...