◍29 Jendral Dirgantara (2)

18 10 9
                                    

.....

"KENAPA KEMARIN KAMU GAK PULANG!?" Ayah dari anak itu begitu terlihat murka saat mendapati putra semata wayangnya pulang di pagi hari.

"MEMANGNYA KAMU GAK PUNYA RUMAH!?"

PLAK!!

Tamparan kencang itu mendarat persis diwajah anak tak bersalah itu, menyisakan rasa panas dan nyeri pada tuannya. Badannya ditarik paksa memasuki kediaman mewahnya yang begitu besar. Anak itu terduduk lemah dan pasrah, saat tatapan tak suka, benci dan mengintimidasi, terarah padanya.

"Dirga kan, memang gak punya rumah.." Lirih anak itu lemah, namun indra pendengaran orang tuanya begitu sensitif dengan kata-kata seperti itu.

"KAMU NGOMONG APA TADI!? MEMANGNYA MAMA GAK DENGAR? SAMPAI SIANG NANTI, KAMU GAK USAH PERGI KEMANAPUN!"

Raga anak itu diseret paksa memasuki kamar mandi belakang, tempat yang jarang didatangi orang-orang selain para pelayan rumah.

"PA, MAAFIN DIRGA.. DIRGA GAK SENGAJA, IYA DIRGA SALAH.. MAAFIN DIRGA, PA!" Lirihnya lagi.

Anak itu memohon-mohon agar ia diampuni, namun amarah orang tuanya terlalu meluap-luap, sampai-sampai kehilangan sisi manusiawinya.

"SEMALAM KAMU KEMANA!?" Tanya sang Ayah sembari mendorongnya masuk kedalam kamar mandi.

"Di-dirga pergi ke rumah temen.." Lirihnya takut.

PLAK!!

Lagi-lagi, wajahnya memerah karena tamparan keras itu mengenai wajahnya untuk kedua kalinya. Dirga tetap diam tak bergeming, ia begitu takut dengan sang Ayah saat ini.

Ayahnya dengan cepat mengambil seember air dingin yang ada didalam kamar mandi, dan menyiramkannya kesekujur tubuh putranya yang bergetar ketakutan. Tak sekali dua kali Dirga mengalami hal ini, sudah menjadi kesehariannya sejak ia berusia lima belas tahun.

Sikap orang tuanya yang mudah sekali berubah, bermula sejak mereka mulai merintis perusahaan besar yang sudah terkenal diseluruh Indonesia. Tentu Dirga merindukan keluarga lamanya, perhatian yang ia dapat dari orang tuanya direnggut oleh waktu dan pekerjaan semata.

"PAPA DAN MAMA GAK MENERIMA ALASAN APAPUN! KAMU DIAM DISINI, PAPA DAN MAMA MAU PERGI KERJA."

Sang Ayah membanting pintu kamar mandi itu kencang. Membiarkan raga anaknya didalam sana kedinginan.

Dirga merasa dunia selalu tak memihaknya disaat-saat seperti ini. Bahkan setelah ia bersabar, apakah kebahagiaan itu tak lagi ingin menghampirinya? Mengapa tak ada yang mengerti dirinya, dimana ia harus mencari rumah yang benar-benar rumah untuknya? Tempat dirinya bisa berkeluh kesah, tempatnya beristirahat, tempatnya untuk tertawa dan bercanda. Dimana ia bisa menemukannya?

Apa benar, keluarga adalah rumah?
















































































































Semalam dia memang tak pulang, ia juga tak menginap di rumah temannya itu. Setelah belajar bersama, ia pergi meninggalkan rumah temannya pada pukul 00:00. Ia tak pernah takut saat sendirian, namun yang ia takutkan adalah kata-kata yang terus saja muncul bila suasana disekitarnya begitu sepi.

Malam itu, ia menuju gudang lama didekat Villa tua milik keluarganya yang sudah lama tak terpakai, entah dengan dorongan apa, ia pergi kesana.

Mengingat kemarin saat berada disekolah, ada salah satu Kakak kelasnya yang mengajaknya bertemu di gudang lama diperbatasan hutan itu. Ia tahu, sudah terlalu lambat untuk bertemu seseorang di jam-jam istirahat seperti ini, jadi ia tak berharap akan disambut oleh siapapun.

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang